gentas | rivetra

298 31 3
                                    


RIVETRA | angst, romance | 750+ words

__________

Gadis itu ingin mencintainya lebih banyak dari debar, lebih hebat dari sabar, dan lebih lama dari selamanya, tetapi selamanya terlalu lama dan dia tidak sanggup.

__________


Gadis itu masih sama, masih sama seperti terakhir kali Levi mengenangnya. Surai serupa senja yang kini makin terlihat berkilau di bawah terik matahari, sepasang mata yang cemerlang, dan seulas senyum yang kalau boleh jujur, selalu menyergapnya ketika ia belum siap.

“Apa kabar, Kapten?” Adalah dia yang pertama kali bersuara dan pemuda itu kerap menemukan dirinya menjadi pecundang setiap kali mendengar timbre yang lebih lembut dari kapas tersebut.

Namun, meskipun begitu, Levi hanya menyongsong hening sebagai jawaban, menelan ludah pelan sekaligus mencerna realita bahwa gadis yang kini terpaut tiga puluh senti di atas wajahnya, menjadi dadap siraman sinar, adalah Petra—yang tengah dibalut terusan putih, memberi pangkuan untuk kepalanya, terlihat tenang setenang air di telaga.

Pandangannya lantas meluas pada pematang yang disesaki bunga-bunga, pohon hijau, dan ilalang di kejauhan, melambai pelan diterpa sepoi angin sebelum beralih menatap gadis itu kembali.

Seolah menebak isi pikirannya, gadis itu bertanya, “Kau berpikir kalau ini mimpi, ya?”

Namun Levi lagi-lagi mendadak kehilangan suara.

Kalau ini memang mimpi, kenapa usapan jemari gadis itu di pipinya terasa begitu nyata? Terlalu nyata sampai pria itu terbuai memejamkan mata, merasakan sapuan hangat jemari lentik yang kini lari pada sela-sela rambutnya.

“Ini bukan mimpi,” tuturnya, menyugar pelan surai si pria, membiarkan keningnya terlihat lebih jelas. “Mungkin.” Petra terkekeh pelan. “Aku juga sebenarnya tidak tau.”

“Tapi omong-omong, kau belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana kabarmu?”

Ada jeda yang panjang sebelum Levi bergumam, “Baik.”

“Syukurlah,” sahutnya, tersenyum lega.

Gelegak emosi mendadak meranggas di ulu hati si pria, lebih-lebih ketika membidik sepasang iris sewarna kayu milik Petra. Ada sesuatu di dalam matanya yang seakan memberinya lautan emosi yang terlalu takut untuk ia selami. Selalu begitu. Bukan semata-mata tak pandai bicara, tetapi si pria kerap diterjang ragu dan takut setiap ingin memvokalkan isi hatinya.

“Aku sebenarnya tidak tau ingin berkata apa, tapi kalau ada hal yang yang perlu aku ucapkan itu adalah, kau sudah bekerja sangat keras, Kapten. Kau selalu melakukannya dengan sempurna meski kau tidak mengetahuinya,” tutur Petra, mengusap pelan pucuk kepalanya. “Kau selalu tampak hebat bagiku. Juga, kau punya cara menunjukkan afeksi yang unik dan mungkin banyak orang salah paham tentang itu. Tapi tidak apa-apa, aku tau, kau benar-benar peduli pada rekanmu. Pada kenyataannya, kau yang paling memikirkan mereka semua.” Gerakannya terhenti sejenak. “Kau tau, tidak apa-apa untuk menyerah sejenak. Kau sudah menjadi kuat untuk waktu yang begitu lama.”

Tawa si gadis meluncur sumbang, tersenyum getir. Sudah habis kapasitasnya untuk menyembunyikan getar di suara kala berucap, “Kapten, aku ... rindu.”

Levi pun, tetapi ia takut.

Benar. Pria itu takut, sebab setiap dia mulai membuka hatinya, segalanya tidak pernah berakhir baik, bukan?

Pria itu paham dia tidak lihai mengolah suara, pun dengan kata-kata, sepaham dia bahwa jika bukan saat ini, maka dia tidak akan pernah bisa melakukannya lagi. Lantas kemudian lengannya perlahan bergerak meraih telapak tangan Petra di samping, mencium pelan bagian punggungnya.

“Jangan katakan apapun lagi,” ucapnya pahit.

Jangan katakan apapun lagi, sebab seharusnya dia yang banyak bersuara. Levi bahkan belum menyampaikan selamat tinggal dengan benar. Kepergiannya terlalu tiba-tiba. Gadis itu pergi tanpa pertanda, membawa sebagian dari dirinya yang dia tidak tau kalau itu pernah ada.

“Petra,” panggilnya lugas, beringsut ringkas dari baringnya untuk meraih pundak si gadis. Napasnya sedikit tercekat. “Tolong dengarkan ini baik-baik karena aku tidak akan mengatakannya lagi.”

Tapi bahkan sebelum dia bicara, si gadis sudah keburu meruntuh, menggigit bibir bawahnya.

“Aku ... memilihmu,” ujar Levi, tangannya menanjak mengusap pipi si gadis. “Di kehidupan selanjutnya dan setelahnya. Aku akan tetap memilihmu.”

Untuk pertama kali sepanjang ingatan Petra, Levi memberikan senyum tipis. “Aku bersyukur, kau tidak harus menanggung beban yang berat lagi.”

Dan bagaimana gadis itu tidak dibuat berantakan mendengarnya. Kata-kata yang tidak ia tau akan lolos dari sosok itu. Mendadak Petra ingin mengutuk eksistensinya yang kini begitu rapuh.

“Aku mencintaimu, Kapten. Sangat.”  Bibirnya mulai bergetar hebat, berusaha mati-matian untuk tidak memecahkan tangis, meski akhirnya merebak juga. “Aku ingin terus berada di sisimu. Selamanya. Tapi selamanya terlalu lama.” Suaranya menyerak, hatinya berserak. “Dan aku tidak sanggup,” isaknya mengeras. “Maaf.”

Derainya berjatuhan sampai-sampai ia harus menangkup mulutnya sendiri. “Maaf.”

Dan setelahnya hanya terasa begitu benar kala lengan si pria menangkup pipi gadis itu yang basah oleh air mata, membawanya pada ciuman yang dalam dan panjang, menyesap lembut bergantian, mencecap rasa asin dan manis bibir si gadis, membebaskan seluruh emosinya yang lama terpendam.

Terlalu banyak hal yang keduanya ingin ungkapkan, tetapi kini kata-kata sudah tidak diperlukan lagi.

Dan dalam pusaran waktu yang terasa seperti selamanya, tatkala hampa menyapu bibir si pria, membuka mata hanya untuk melihat seutas senyum manis gadis itu perlahan ditelan pendar cahaya, Levi tau, ia tidak akan bisa mencintai seseorang sehebat ini lagi. [...]

analekta | aotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang