EREMIKA | romance, fluff, slice of life | 1,2K+ words
__________
"Aku pernah mendengar seseorang berkata seperti ini," Eren memulai, suaranya jelas dan pelan. Pandangannya dipenuhi tanah lapang yang berundak naik-turun sebelum di kejauhan tembok-tembok besar menjulang tinggi sedikit menghalangi tumpahan sinar sore hari. Debur angin meniup pelan surai coklatnya tatkala ia mengimbuh, "Kenapa sejak kecil kita diajari untuk tidak membenci dan bukan untuk tidak mencinta? Ini menyedihkan ketika cinta malah lebih banyak menyebabkan penderitaan daripada kebencian."
Dan yang diajak bicara terdiam sejenak, memilih mematri profil sisi Pemuda Yeager tersebut, kelindan kalimat tadi tidak langsung membuat koneksi dengan sel-sel otaknya. Mikasa tidak bisa meraba ekspresi jenis apa yang terproyeksi pada kontur wajah tersebut. Sendukah? Herankah? Air mukanya sulit dibaca. Namun, terlihat lebih tenang dari sepoi angin yang sesekali menerbangkan rambut hitamnya.
Kemudian, di bawah pohon yang tampak mencolok dari lahan-lahan kosong di sekeliling, Mikasa menyahut, "Mungkin karena seseorang itu tidak mencintai dengan benar?" Nada bicaranya terdengar ragu.
"Itu malah membuatku semakin bingung karena tidak ada petunjuk yang jelas bagaimana mencintai seseorang dengan benar, bukan? Bukan materi yang diajarkan di sekolah," Eren membalas langsung, vokalnya sedikit terseret di akhir, dan baru kini gadis itu bisa menangkap rebakan emosi dalam suaranya.
Pemuda itu terdengar kesal. Ia terdengar seperti menahan seseuatu.
"Dan," sambungnya ketika Mikasa pikir ia telah menuntaskan kalimat. Kepala si pemuda menelungkup, memandang area tanah di antara kedua paha sebelum pandangannya menanjak menuju si wanita. "Lagipula bagaimana kita bisa menentukan mana yang benar dan salah ketika kita jatuh cinta logika kita dibuat berantakan?"
Mikasa meneguk samar, ia membenahi posisi duduknya, mengeratkan pelukannya pada lutut. Agaknya dia bingung disongsongkan pertanyaan macam tadi. Tarikan napasnya pendek sebelum membalas, "Aku tidak tau. Aku hanya membiarkan hatiku menunjukan jalannya."
Hatiku bodoh, Sa. Tapi potongan kata itu cuma terealisasi dalam hati si pemuda, memunculkan sedikit eksistensinya dalam bentuk senyum sudut. Dia seringkali keliru.
"Menurutmu, itu cara mencintai seseorang yang baik?" tanya Eren.
Mikasa sebetulnya merasa aneh, bingung, jarang sekali pemuda yang sudah menyisir waktu bersama dengannya sejak kecil ini mengangkat topik melankolis seperti cinta. Lebih-lebih cara pengambilan katanya seperti puisi dari penyair di rubrik surat kabar yang tidak pernah Mikasa selesai baca sampai akhir. Tidak terlalu tergugah.
Juga, kalau boleh jujur, konsep Eren yang sepanjang ingatan Mikasa hanya peduli pada pemenuhan dendam dan menjadi petarung paling hebat berbicara perkara semacam ini, membuatnya tertarik, kendati di lain sisi perempuan itu paham di balik nyala pijar yang tersimpan pada pasang iris emerald itu, Eren punya tatapan lunak yang mampu membuat hatinya berdesir.
"Entahlah," Mikasa menjawab selepas sunyi beberapa detik. Embus napasnya langsung berbaur dengan angin yang mendadak mengencang. "Seperti katamu tadi, tidak ada hal yang mengatur bagaimana mencintai seseorang dengan benar. Mungkin karena itu seseorang patah hati berkali-kali, sebagai referensi untuk menyempurnakan caranya. Kemungkinannya kecil untuk seseorang bersama selamanya dengan cinta pertama.
"Dan untuk bagian kenapa cinta malah banyak menimbulkan penderitaan, menurutku, mencintai seseorang itu paduan dari beberapa kemampuan. Kemampuan untuk menahan emosi, mengekspresikan perasaan, mempertahankan, merelakan, dan yang lainnya. Manusia tidak sempurna, kemudian apa yang membuat cara mencintai seseorang itu menjadi salah itu, mungkin saja, karena salah satu dari rangkaian kemampuan itu tidak dikuasai dengan baik, atau sama sekali tidak dikuasai. Contohnya ketika seseorang menusuk dirinya sendiri karena kekasihnya meninggal, itu karena dia tidak memiliki kemampuan untuk merelakan walau kita tidak bisa menyalahkannya.
Atau kasus lain, karena sesederhana perasaan yang dia punya bukan seutuhnya cinta."
Mikasa menjeda, menyandarkan tubuhnya di pohon, melemparkan pandangan pada rerumputan hijau di kejauhan. Ia lantas menimpali, "Dan karena mencintai itu kemampuan, hal itu juga bisa diasah." Kepalanya tertoleh, memandang datar. "Seperti menebas kepala seseorang diam-diam."
Pemuda Yeager itu sedikit meringis. Impresinya tentang perempuan jutek semacam Mikasa yang berbicara banyak tentang cinta sedikit rusak karena analogi terakhir. Maksudnya, dari semua perumpamaan yang ada. Namun, dia tetap tidak bisa menahan untuk merasa tertegun. Jawaban yang baru saja keluar jelas di luar ekspetasinya dan itu—entah bagaimana—rasanya melegakan, seakan sebagian risau di benaknya disiram air, melesap hilang.
Kedua ujung bibirnya bahkan tanpa tersadar tertarik samar seraya mencerna figur perempuan itu dari samping.
Akan tetapi, begitu Mikasa menoleh, Eren sudah memalingkan pandangan. Sendu yang menggantung di hatinya mendadak diubah menjadi ekstasi, membawa letupan-letupan kecil di dalam dada.
Mikasa baginya selalu menjadi gadis yang seperti itu. Gadis yang selalu menatapnya seolah dia orang yang paling berharga. Eksistensinya bagai telah melebur dengan siklus hidup pemuda itu, seakan tidak ada sehari pun ia tidak melihat wajahnya, dan kalau pun ada (di beberapa waktu), alam bawah sadar pemuda itu praktis memutar ulang rangkaian kejadian di hari tersebut. Seperti ada yang tidak seharusnya, ada yang kurang.
Seraut wajah ayu oriental yang kini tengah membenarkan syal merah yang mengalungi lehernya selalu muncul pertama kali di permukaan pikiran si pemuda kalau ia berada di puncak kesenangan. Barangkali alasannya karena dia tumbuh besar dengannya, menghabiskan waktu nyaris sebilang usianya, atau barangkali karena memang Mikasa adalah satu-satunya gadis yang ia lihat. Sejujurnya, Eren lebih menyukai opsi yang kedua. Terasa menjelaskan, menyambung dengan perasaaannya.
Bersama dengan gadis itu membuat Eren lupa hal-hal mengerikan yang pernah terjadi padanya, seakan setumpuk tragedi tersebut dibawa menuju ceruk terdalam ruang kepala. Pun dengan realita kalau dia hidup di dunia di mana nyawanya bisa hilang esok hari.
Mikasa membuatnya merasa begitu hidup, selayak seleret sinar mentari selepas hujan deras di tanah yang basah.
Dia memberinya harapan.
Tetapi terkutuklah ego atau mungkin nyalinya, Eren selalu menemukan dirinya mendadak menjadi dungu acapkali dihadapkan dengan kesempatan mengungkapkan. Kalimat-kalimat yang coba ia lontarkan malah jauh berkebalikan dengan apa yang ingin hatinya sampaikan. Dia bingung kenapa sistem di otaknya malah mentranslasikan sekelumit perasaan menjadi rupa kalimat yang kontradiktif maknanya. Kalau ibunya masih hidup, mungkin perkaranya tidak akan serumit ini. Dia bisa meminta saran bagaimana mengajak seorang gadis keluar ketika gadis itu yang menjadi penyebab anak-anak nakal di kampungnya berhenti memukulinya lagi (Mikasa itu sesuatu, Eren selalu tau itu). Bagaimana mencuri atensinya, membuatnya nyaman, dan tentu saja kiat-kiat untuk mengajak menjadi kekasih.
Eren betulan tidak punya ide tentang itu dan tidak punya waktu lebih juga untuk memikirkannya terus-menerus.
Dia mencintai gadis itu, banyak, banyak sekali—terlalu banyak mungkin, sampai dia bingung apa yang harus dia perbuat dengan fakta itu, sampai dia bingung apa yang harus terjadi setelahnya.
Ambisi dan tekad hidup yang kuat ternyata tidak punya koneksi apapun dengan masalah perasaan. Dan sejatinya sedari tadi Eren pun terkejut dengan apa saja yang sudah lolos dari mulutnya. Astaga, itu bukan dia sekali. Sekarang dia jadi geli sendiri mengulang kalimat tadi di dalam kepala.
Entahlah, barangkali dia mendapat ilham dari dewa pohon jadi kapabel berujar seperti itu. Bisa juga karena selama beberapa tahun belakangan dia secara tidak sadar mengumpulkan sisa-sisa keberanian. Waktunya tidak banyak, Eren paham. Lini masa hidupnya seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Dan, apapun alasannya, pemuda itu bersyukur. Setidaknya untuk sesaat, untuk sekarang, dia bisa jujur dengan perasaannya sendiri. Sesuatu yang lebih berat dibanding latihan gila-gilaan.
"Sa," panggil Eren pelan. Mikasa yang sebelumnya sedang mengamati serat-serat syal yang tertiup angin melirik.
Harus menatap matanya langsung. Eren meyakinkan diri. Lantas ia menoleh, mendapati tatapan lugu gadis tersebut.
Pemuda itu berupaya menyelipkan emosi sebanyak mungkin dalam bidik matanya. Satu bait napas diambil sebelum ia berujar, "Walau aku belum tau cara mencintai seseorang dengan baik, boleh aku melakukannya padamu?"
Dan Mikasa mendadak kehilangan suaranya.
—fin.
![](https://img.wattpad.com/cover/278567137-288-k379988.jpg)