RIVETRA | romance, fluff | 700 words
__________
Petra diam-diam memperhatikan Levi dari jauh, lagi.
_________
Gadis pemilik surai serupa pohon oak yang kini tampak mengkilap lantaran siraman sinar sore itu, tengah bersembunyi di balik pohon, tidak jauh dari lapangan yang terlihat ramai oleh gerombolan anak lelaki berlarian mengoper bola. Pasang irisnya mengamati dengan atensi penuh satu sosok di antara manusia-manusia di sana.
"Hei!"
"Berengsek! Kau—oh!" Petra memekik tertahan kala tepukan pelan yang ternyata berasal dari Hange—temannya yang entah datang darimana—berhasil membuat jantungnya nyaris terpelanting.
Tampangnya begitu bersih dari dosa saat ia berucap, "Kau sedang memperhatikannya, ya?" Seakan itu tidak terlihat jelas.
"Ssstt! Suaramu bisa lebih kencang tidak?"
Dia mengangguk mantap. "Bisa. KAU SE—"
Si gadis mendelik sontak menangkup mulutnya, menyembunyikan badan mereka berdua secara sempurna. "Kau gila, ya?"
"Seharusnya aku yang bertanya seperti. Kau sudah bertingkah seperti ini dari tahun pertama kita bersekolah. Memperhatikannya diam-diam."
"Dan aku tidak keberatan untuk lebih lama lagi," sahut Si Gadis enteng. Dia tidak tau masalah apa yang Hange punya sampai langsung menyerangnya dengan fakta yang tentu saja sudah Petra ketahui amat jelas.
"Oh ayolah! Katakan saja. Apa susahnya sih mengatakan hei aku suka kau dan ini sudah tahun ketigaku," seru temannya. "Kalau kau tetap seperti ini sampai dua tahun kedepan, aku akan memberimu gelar strata satu jurusan menyukai seseorang diam-diam."
Baru kali ini Si Gadis menatap penuh kawannya, matanya menyipit ekstra seakan temannya itu baru saja melontarkan lawakan paling buruk dalam sejarah umat manusia.
Apa katanya tadi? Apa susahnya? Sungguh, dia mengatakan itu?
Andai, andai saja dia tau betapa gadis itu ingin melakukannya—tetapi bagaimana dia bisa? Jika dalam radius beberapa meter saja jantungnya berdentum gila-gilaan. Berhasil menyatakan tidak, kalau pingsan, sih, mungkin.
"Aku setidak tau malu kau ya yang bisa mengungkapkan perasaan begiu saja di depan orang yang kausuka," sahutnya dan sial, dia tidak bisa menahan nada jengkel yang melekat pada kalimatnya barusan.
"Hei, begini, lihat aku," bisik temannya. Dengan separuh niat, Si Gadis menolehkan kepala. "Kau dan dia itu sama-sama pecundang, jadi hal-hal yang kau inginkan yang ada di bayang-bayangmu selama ini tidak akan terealisasi kalau tidak ada yang bergerak pertama. Jadi bilang ke dia segera, aku yakin dia menyukaimu juga."
Petra menyela cepat sekali, "Yakinkan aku kalau tadi kau tidak berkata dia menyukaiku juga."
"Oh, ya, tentu saja. Dia menyukaimu."
Gadis itu malah mendengus. Mengernyit jenaka.
Yang barusan terdengar sangat lucu baginya. Saking lucunya sampai tawa gadis itu tertelan di tenggorokan.
"Itu konyol."
"Kenapa konyol? Aku sudah sering memperhatikan kalian berdua. Kau harus tau, cara dia menatapmu itu seperti Romeo kepada Juliet, seperti Majnun kepada Laila, seperti Hansel kepada Gratel."
"Tetapi Hansel dan Gretel bukan sepasang kekasih."
"Oke. Kalau begitu bukan seperti Hansel dan Gretel. Gampang."
Gadis itu terdiam, berusaha mencerna apa informasi dan konklusi tidak berdasar dari temannya itu sejenak. Namun, sirkuit di otaknya tidak mampu memformulasikan jawaban apapun selain keyakinan bahwa itu tidak masuk akal.
"Itu tidak masuk akal dan sebagai informasi tambahan saja, pasangan yang kau sebutkan tadi, mereka semua berakhir tragis."
Temannya malah mendecak. "Wow. What a negative person you are. Just look at the bright side, okay? Setidaknya mereka pernah bersama."
"Kau ingin aku mencobanya hanya untuk berakhir mengerikan?" Petra mendesis, melanjutkan operasi mata-matanya yang sebetulnya tidak sesubtil itu. "Aku memilih tidak."
"If you never try, you will never know."
"Stop with that Tumblr quotes."
"Sebenarnya aku baca itu di Pinterest."
Lagi pula dari semua perempuan yang ada di sekolahnya, perempuan yang lebih, entah lebih dalam hal apa. Lebih cantik, lebih baik, atau lebih cerdas barangkali—kenapa harus dia?
Benar. Kenapa juga harus Petra—gadis yang Levi sukai?
Kendati omongan Hange barusan untuk sejenak menggelitik imajinasinya, Petra selalu menekan kembali letupan-letupan harapan yang muncul.
Tentu saja, itu pasti akan terasa menyenangkan jika pemuda itu memandang Petra sebagaimana dia memandangnya. Benaknya terasa begitu penuh hanya dengan memikirkan mereka melakukan sesuatu persis seperti yang selalu gadis itu bayangkan. Namun, mengingat nyalinya yang mendadak tergerus habis hanya karena Levi bertanya kenapa wajahnya pucat atau ketika dia menawarkan payungnya, Petra paham dia harus mendorong semua keinginan-keinginan yang malah membuatnya semakin menyedihkan itu jauh dibalik bilik pikirannya sendiri.
Entah apapun hubungan yang ada di antara mereka, baik itu teman, orang yang hanya mengenal nama, orang yang kebetulan pernah satu kelas, atau orang yang tidak sengaja kau temui ketika tersesat di jalan, Petra harus merasa puas dengan itu. Untuk ukuran pecundang seperti dia, terlebih dalam urusan romansa masa muda, Petra pikir tidak banyak hal yang bisa dia lakukan, dan dia baik-baik saja dengan itu.
Setidaknya dia mencoba merasa baik-baik saja dengan itu.
"Aku juga ingin menambahkan kalau tempat bersembunyimu saat ini terlihat jelas dari seberang," cetus Hange.
"Kenapa kau tidak memberi tahu lebih awal?!"
[...]
i know that i rarely do a footnote but it would be very nice if you guys leave some comments or vote ༼ つ ◕‿◕ ༽つ thank you for reading!!!
![](https://img.wattpad.com/cover/278567137-288-k379988.jpg)