disosiasi | rivetra

129 18 4
                                    


RIVETRA | fluff, romance | 1122 words

__________

Pria itu berdiri di hadapan pintu putih dengan pelat Lavender A yang terpajan di depannya. Sekali lagi, ia meneguhkan hati, meluruhkan ekspetasi-ekspetasi yang kerap melanda kala mengunjungi sosok di dalam.

Napasnya terhela panjang sebelum membuka kenop pintu. Ruangan nyaris serba putih segera merasuki jangkauan pandangan seiring dengan bau desinfektan melesaki hidung bangirnya tatkala kikisan langkah membawa pria itu masuk lebih jauh ke dalam.

Satu langkah kemudian langkahnya terhenti. Napasnya sedikit tercekat sewaktu memandang wanita yang kini tengah menerawang potret lembayung langit di luar sana.

Sepuluh detik berlalu dan masih tidak ada pergerakan berarti dari si wanita—belum menyadari kehadirannya, mungkin karena tapak kakinya yang terlalu pelan. Hal ini membuat Levi serta-merta menelaah lebih dalam presensinya yang terlihat begitu tenang. Tidak terganggu, seperti dia jauh berada di dunia yang berbeda dengannya. Tetapi memang, sejak insiden itu, ada banyak hal yang tidak lagi sama.

Genggamannya pada sebuket bunga perlahan mengerat, mengingatkan diri untuk kesekian kali bahwa dia baik-baik saja dengan semua ini. Dia harus baik-baik saja dengan semua ini. Setidaknya dia masih bisa bertemu dengan wanita itu bukan?

Meski tidak utuh.

"Petra," panggilnya pelan.

Wanita itu kontan menoleh, kedua sudut bibirnya seketika mengembang, menampilkan senyum kepalang menawan.

Dan itu menular, membikin sang pria mebentuk senyum khas terlalu tipisnya.

"Hei!" Telapak lengannya mengibas, sigap membenahi posisi duduknya. "Kamu udah lama di situ? Aku udah nunggu dari tadi."

"Baru dateng," balas si pria, berjalan menuju meja di depan jendela besar. Tangannya dengan telaten mengganti bunga krisan kuning yang berada di dalam vas kaca dengan yang baru.

"Bunganya padahal masih bagus, lho."

Dia hanya berdeham.

Wanita itu lantas mengimbuh, "Levi, kamu bawa apa sekarang? Hehe."

Bahkan tanpa menoleh, Levi tau wanita itu sedang menampilan cengiran.

Hening menguar sejenak.

Tumitnya terputar, menghampiri Petra lantas terduduk di pinggir kasur rumah sakit.

Sekalipun dalam balutan baju biru polos dan roman lugu tanpa riasan apapun, bagi si pria, Petra masih kapabel membuatnya sedikit merona tanpa alasan yang jelas.

"Ini ada kue pai sama saus maple dari Hange," katanya seraya menyodorkan sekotak makanan yang dibalut kain perca.

"Hange tuh yang pake kacamata itu ya? Yang berisik," sahut Petra, meraih kotak tersebut.

"Tapi lebih berisik kamu."

Wanita itu mendengus geli. "Kamu kayak udah kenal lama sama aku aja."

Sontak ia membungkam. Ujung bibirnya sedikit berkedut, sebab Levi memang sudah lama mengenal dirinya, lebih lama dari yang dia ingat, terlalu lama sampai dia kehabisan angka untuk menghitung memori yang mereka bagi bersama. Namun dia tidak angkat suara perihal itu, lebih memilih menggulung kembali getir di lidah.

Petra mendongak. "Kenapa dia enggak sekalian ikut ke sini? Aku kangen ngobrol sama Hange."

Levi terdiam sejenak, mengamati jemari si wanita membuka penutup kotak makanan, sebelum menarik napas pelan.

analekta | aotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang