EREMIKA | slice of life, fluff, slight romance | 3k+ words
__________
Karena kalau tidak menjadi yang pertama itu sama saja sia-sia.
__________
Satu titik. Dua titik. Tiga titik hujan jatuh menimpa tanah membentuk berkas air yang langsung ditindih dengan tetes-tetes lainnya sebelum kemudian mendadak menderas, tidak secara gradual, datangnya tiba-tiba seolah ada satu ember besar berisi air yang ditumpahkan dari langit.
Mikasa — gadis yang masih berbalut seragam tersebut segera membawa diri menepi di depan toko kelontong. Pipinya menggembung sejenak sebelum menghela pendek. Tangannya lantas menerpa bulir-bulir air yang melapisi wajah, juga yang berada di pakaian yang masih sempat dihilangkan.
Ada tarikan napas singkat sebelum kepalanya menoleh, memindai sejenak bangunan kayu yang tampak agak berusia, dilihat dari beberapa bagian yang sudah keropos. Kerangka kayu atas sudah terlihat melapuk membuat rongga-rongga yang ada terisi jaring putih laba-laba. Pasang matanya lantas bergeser menilik suasana di dalam toko yang tampak sepi, meja kasir dengan bahan kayu yang lebih terlihat baru tidak dihuni siapapun. Penerangan di dalam sedikit temaram, tapi masih cukup terang untuk retinanya tangkap tumpahan cahaya dari produk makanan yang tersusun di rak.
Satu detik kemudian, ia menoleh kembali, menyelipkan beberapa helai surai arangnya yang sedikit lembab ke belakang cuping telinga, mengamati tetes-tetes air berebut membahasi permukaan tanah yang dalam beberapa menit kemudian membentuk kubangan di ceruk-ceruk.
Gadis itu bukan tipikal orang yang melankolis, dia tidak pernah mengasosiasikan hujan dengan sendu dan biru. Baginya, hujan cuma peristiwa alam biasa. Evaporasi, kondensasi, kemudian menjadi bulir air yang melesap ke tanah, lalu setelah beberapa fase menguap kembali, terus berulang seperti itu. Dia tidak paham bagian mana yang bisa diromantisasi. Petrikor memang menenangkan untuk dihirup, tapi, lagi, itu hanya sebatas aroma. Hanya membawa relaksasi, tidak setumpuk memori yang membuatnya merasa emosional.
Namun, untuk kali ini biarkan dia mematahkan kalimatnya sendiri, sebab ketika serbuan air turun bagai ribuan anak panah dari langit dan aroma tanah basah mengapung di ujung hidungnya, Mikasa merasa emosinya tengah diacak-acak. Campur aduk. Nyeri yang sedari tadi menggelayuti makin hebat rasanya. Sisa energi yang tersimpan di dalam tubuh memang membuatnya yakin kalau dia mampu menerjang hujan menuju rumah. Tapi dia lelah. Dia luar biasa lelah.
Pun kalau dia tidak lupa membawa payung atau nekat berlari sampai rumah, apa gunanya? Dia kepalang yakin, alih-alih apresiasi yang dia dapatkan pasti hanya caci-maki di depan wajah. Seberinda kata kalau dia tidak benar-benar berusaha, apa yang dia lakukan selama ini, repetisi nominal uang yang dihabiskan orang tua untuk menyekolahkannya di sekolah paling unggul fasilitasinya, paling prestisius, les sana-sini, guru privat terkemuka — keparat, dia muak.
Mikasa gagal membawa medali emas di olimpiade yang orang tuanya selalu tekankan untuk dimenangkan dan dia merasa muak, sampai perutnya bergejolak, sampai jantungnya berdentum kuat. Gadis itu berang. Dia ingin marah — tapi pada siapa? Pada orang tua yang membebankan mimpi yang tidak sama sekali dia inginkan atau kepada dirinya sendiri sebab tidak memaksakan diri sampai batas-batasnya?
Pada siapa?
Tuhan?
Mendadak ujung bibirnya terangkat pedih. Ah, dia merasa tidak punya kuasa untuk mengutuk garis tangannya yang menyedihkan. Dan, kalau pun Mikasa punya sedikit nyali untuk memuntahkan serangkaian protes pada entitas tersebut, telapak tangan ibunya yang lebih mencintai Tuhan daripada suaminya barangkali lebih cepat menyambar pipinya dibanding hukuman dari langit.