Sanji menatap langit-langit kamarnya. Ia kemudian bergulung ke samping, membiarkan AC kamar menerpa tubuhnya yang kedinginan. Mendadak ia dengar ketukan di pintu kamarnya dan suara sang ibu memanggil lembut. Sanji menurunkan kedua kaki dari ranjang tidur, menyentuh lantai yang sedingin es. Giginya bergemeletuk dan tangannya membuka pintu. Di depan pintu kamar tampak ibunya tersenyum kepadanya. "Kamu kedinginan lagi? Pakai selimutmu sayang," ia mengusap rambut Sanji lembut. Sanji tidak menjawab. Sebagian rambut menutupi wajahnya. Bagaimana bisa ia tidur dengan nyenyak begitu mendengar suara tangis ibunya. Setiap malam selalu seperti itu. Sanji memberanikan diri mengangkat wajah, memperhatikan lebam di sisi kiri sang ibu.
"Ayah datang lagi?" tanyanya pelan.
"Tidak, ibu hanya terjatuh," Sora kembali menenangkan anaknya. Tapi tidak ada yang bisa menyembunyikan hidung merah dan mata bengkaknya. "Sanji, malam ini kamu tidur dengan Zoro saja ya, dia sudah menunggumu di ruang tamu, mama harus pulang ke rumah sebentar."
Sanji mengangguk kecil. Ia keluar dari kamar dan turun ke ruang tengah hanya untuk mendapati Zoro duduk di sana dengan ponsel di tangannya. Zoro mendadak berdiri ketika melihat Sora muncul tidak jauh dari Sanji. "Ibu tinggal dulu ya, baik-baik di rumah," ia mengucapkan pamit sembari mencium pipi Sanji cepat.
Sanji memperhatikan kepergian mobil hitam milik ibunya. Kemudian perlahan ia menutup pintu dan mengerutkan keningnya pada Zoro yang duduk dengan santai di atas sofa biru keabuan. "Sudah malam, ayo tidur saja," ujar Sanji.
"Yakin?" tanya Zoro. "Ada masalah yang mau kau ceritakan?"
Sanji menarik napas dalam. Ia dan Zoro adalah teman masa kecil. Mereka sudah bersama sejak awal kepindahan Sora ke rumah di pinggir kota ini. Kota asing dimana ibunya berusaha memulai kehidupan baru tanpa sang ayah. Sanji dan Zoro saat itu masih berumur 7 tahun. Sebagai tetangga sebelah rumah, ibu Zoro menyambut dengan baik kehadiran Sora dan Sanji. Tentu saja alasan lainnya karena Zoro tidak punya teman sebaya. Sejak hari itu mereka jadi dekat dan hampir tidak bisa dipisahkan.
Hampir setiap harinya Sanji habiskan bermain dengan Zoro. Entah itu perang bantal, membangun tenda dengan kursi dan selimut, berbagi kehangatan di depan perapian ditemani segelas cokelat panas, bahkan berguling di atas daun gugur. Terkadang mereka tidur bersama di kamar Zoro. Ia ingat dulu kamar Zoro masih bercat putih polos dengan tempelan bintang-bintang dan planet yang menyala hijau dalam kegelapan. Kemudian ada beberapa botol berisi serbuk fosfor berbagai warna di atas rak gantung. Tiap malam mereka suka menghitung berapa banyak bintang yang bertebaran dalam kamar itu, setidaknya Zoro mengerti hal itu mampu membuat Sanji lupa dengan masalahnya. Sekarang kamar itu sudah lebih dewasa dengan buku-buku disusun rapi dan cat abu-abu dan putih.
Ada pula kalanya Zoro yang datang untuk bermain di rumah Sanji. Terkadang Sanji mengajaknya bermain konsol game, menyalakan televisi dan menonton film, atau menyalakan musik dan menikmatinya bersama di dalam kamar di atas atap. Dan cara Zoro untuk menunjukkan perhatiannya berbeda-beda tiap waktu. Untuk sekarang dia lebih sering menanyakan masalah yang dihadapi Sanji tanpa memaksa si pirang untuk menceritakannya. Sanji mengusap tengkuknya dan mendesah. "Aku sedang tidak mau menceritakannya,"
Zoro berdiri dan mengantungkan kedua tangannya dalam saku. "Kalau begitu ayo tidur saja, kelihatannya jadwal tidurmu berantakan," katanya sembari melirik kantung mata Sanji. "Kau jadi jelek kalau punya kantung mata hitam begitu, mau saudaraan dengan panda?"
"Ah apa sih!" Sanji meninjukan lengannya ke bahu Zoro. Ia mengerucutkan bibirnya dan berjalan lebih dulu menaiki tangga.
"Ahaha," Zoro menyusul langkah si pirang dari belakang. Ia membuka pintu dan menginjakkan telapak berselimut kaos kakinya ke atas lantai. "Hei! Apa-apaan lantai es ini?" seru Zoro.
Sanji melemparkan bantal yang ia dapat dari lemari pada si hijau. Ia menguap dengan kaki telanjang berdiri di atas lantai. "Lompat ke tempat tidur saja kalau tidak kuat,"
Zoro menggigil begitu masuk ke dalam kamar. Ia menutup pintu pelan dan melompat ke atas kasur. Sanji berjalan perlahan dan ikut duduk di samping Zoro. Kemudian ia menggulingkan tubuhnya, memunggungi surai hijau lumut. "Aku tidur duluan."
Zoro bertopang dagu. Manik cokelat hangatnya memandangi punggung Sanji. Ia meraih selimut dan menutupi seluruh tubuh Sanji. "Berhenti menyiksa dirimu sendiri," bisiknya. Sejak dulu Sanji punya kebiasaan untuk menyiksa diri ketika ia tidak dapat melakukan apapun untuk membela Sora. Seperti sekarang, menyalakan AC kamar dengan suhu paling rendah dan tidak mengenakan kaos kaki maupun selimut, membiarkan ujung jarinya membeku. Zoro tahu semua kebiasaan itu. Dia tahu Sanji lebih dari siapapun. Bahkan Sora sekalipun.
"Mimpi indah." Untuk terakhir kalinya ia mengusapkan telapak tangannya pada dahi Sanji.
.
."Bangun bodoh," Sanji mengguncang tubuh Zoro. Ia sudah menyalakan lampu dan membuka tirai jendela lebar, membiarkan matahari menyinari seonggok tubuh yang masih nyenyak di atas kasurnya. Perlahan kesadarannya muncul, kelopak matanya terbuka sedikit.
Ia mengerang sambil meletakkan lengannya di atas mata. "Silau," keluhnya. Sanji hanya tertawa ketika mendengar suara serak Zoro.
"Ayo bangun, aku sudah memasakkan sara-" belum sempat Sanji melanjutkan perkataannya, tangannya sudah ditarik Zoro dan badannya dijatuhkan ke samping kasur. Tangan teman masa kecilnya itu kemudian melingkar di pinggangnya dengan wajah dibenamkan di perpotongan lehernya. "Hei! Zoro!"
"Ayo tidur sebentar lagi," suara rendah Zoro membuat Sanji tak berkutik. Gesekan rambut hijau Zoro dengan pipinya membuat Sanji bergidik geli. Baiklah, mungkin sebentar saja tidak masalah, pikirnya. Kemudian sekali lagi, keduanya terlelap dibawa mimpi.
~•-•~
Zosan lagi yay yay yay!
Btw warning, ini ceritanya agak nyesek soalnya beberapa pake pengalaman pribadi :')
But still, hope you enjoy it! Thank you for reading❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
The Times We Spent Together
FanfictionHari-hari yang kita lalui bersama selalu menyenangkan. Waktu yang kuhabiskan bersamamu tidak pernah membuatku menyesal. Kupikir aku sudah benar-benar jatuh cinta padamu. Bagaimana caranya untuk berhenti menyukaimu? . . a ZoSan fanfic By Oxodust OC f...