Mobil Zoro kembali mengantarkan Sanji pulang sampai rumah. Ia segera turun tanpa lupa mengucapkan terima kasih. Kemudian kaki Sanji segera melangkah memasuki rumah. Ia lihat ibunya duduk dengan tenang di kursi tengah, menonton sebuah program TV yang sepertinya sudah ditayangkan berkali-kali. Sora tersenyum ketika melihat Sanji memasuki rumah. "Diantar Zoro?" ibunya bertanya.
Sanji hanya mengangguk. "Iya," jawabnya singkat. Dengan cepat Sanji menaiki tangga dan memutar kenop pintu kamarnya. Ia melepas ransel dan mengganti bajunya. Kebetulan jendela kamarnya berseberangan dengan jendela kamar Zoro. Maka dari itu, sebelum mengganti baju ia usahakan untuk mematikan lampu terlebih dulu.
Sanji sedikit mengintip kegiatan Zoro lewat jendela. Pria itu tidak pernah peka dengan sekitarnya. Ia berganti baju dimanapun ia mau. Bahkan kalau dilihat orang sekalipun tidak masalah. Sanji bisa lihat sekarang Zoro tampaknya sibuk dengan ponselnya. Sanji menarik napas dalam dan kembali menutup tirai kamar.
Ketika sudah beberapa jam bersantai sekaligus mengerjakan tugas di dalam kamar, ia dengar suara mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Sanji bergegas keluar dari kamar dan mengintip dari celah tangga. Kakinya berjinjit, perlahan menuruni anak tangga. Iris safirnya menangkap bayangan pria tinggi di depan pintu. Beberapa saat kemudian, suara jeritan Sora terdengar keras bergema di dalam rumah kecil mereka. Sanji memberanikan diri untuk turun dan menarik tangan ibunya. Ia berdiri di depan sang ibu dengan sebelah tangan terentang. "Sanji! Kembali masuk ke kamarmu!" Kedua tangan Sora menarik baju Sanji.
Di depannya, seorang pria tinggi berambut keemasan tengah melihatnya dengan pandangan meremehkan. "Sanji, kau sudah besar ya," ia bersuara rendah agak menggeram.
Sanji tidak menjawab, jantungnya masih dipacu adrenalin. "Baiklah Sora, karena Sanji sudah ada di sini aku akan membawanya pergi," ujar Judge. Sanji terperangah. Apa maksudnya dengan membawanya pergi?
"Tidak! Sanji anakku! Kamu punya empat lainnya di rumahmu!" Sora memeluk Sanji dari belakang. "Sanjiku! Dia milikku!"
Dua mata pria jangkung itu menatap nyalang. "Dasar jalang! Dengarkan saja perkataan suamimu ini!" Judge menarik rambut pirang Sora kuat. Sora menangis namun masih tetap dengan dua tangan erat memeluk Sanji. Mata Sanji menggelap ketika melihat mantan ayahnya memperlakukan ibunya dengan kasar. Rasanya ia ingin berlari ke dapur dan mengambil pisau untuk menusukkannya pada jantung Judge dan mengakhiri semua ini selamanya.
Tapi kemudian yang terjadi berikutnya adalah tinju yang didapat Judge dari belakang punggungnya. Sanji melihatnya. Zoro ada di depan pintu rumah dengan napas tidak beraturan. Tangannya menyeka peluh di wajahnya. Di samping Zoro ada ibunya dengan ponsel di tangan. "Sambungan ini terhubung pada polisi! Jadi jangan macam-macam!" seru Zoro. Sanji kehabisan kata melihatnya.
Judge berdecih ketika melihat dirinya sudah dikelilingi mata. Beberapa tetangga keluar untuk melihat kejadian di rumah Sora dan Sanji. Beberapa saat kemudian mobil polisi datang dan membawa Judge pergi. Sanji menahan napas. Air mata menitik begitu saja, mengalir seperti bendungan pecah. Perasaan lega menjalar di hatinya. Ia tahu Judge akan kembali suatu saat nanti, tapi setidaknya untuk sekarang mereka baik-baik saja. Sanji berbalik, melihat keadaan Sora yang berantakan. Ibunya yang selalu cantik dan anggun bagai malaikat itu kini duduk dengan rambut acak-acakan dan lebam baru. Ini bukan pertama kalinya ia melihat ibunya dalam kondisi memilukan.
Sanji duduk bersimpuh dan memeluk ibunya. "Jangan khawatir bu, aku akan selalu ada di sini," bisiknya.
"Tante, lebih baik ibuku mengantarmu ke rumah sakit saja," Zoro ikut berjongkok di samping Sanji sembari mengelus punggung Sanji lembut.
Setelah terdiam lama akhirnya ia mengangguk juga. Zoro memapah Sora masuk ke dalam mobil ibunya. Sanji ikut berdiri di samping mobil, melihat kepergian ibunya. Ketika Zoro berbalik hendak memasuki rumah, Sanji menarik lengan baju Zoro pelan. "Terimakasih banyak," gumamnya.
Jari Zoro menyeka air mata Sanji. Iris biru dan cokelat bertatapan untuk sesaat. Terbawa suasana, Zoro mendekatkan wajahnya pada Sanji untuk mendaratkan ciuman tipis pada kurva bibirnya. "Kau bisa istirahat untuk sekarang," tuturnya dengan senyum hangat di wajah. Ia menepuk kepala Sanji pelan sebelum masuk ke dalam rumahnya.
Sanji terpaku.
Itu mimpi, kan?
Ia berbalik, memasuki teras rumah dan memegang gagang pintu. Perlahan tangannya membuka gagang pintu kemudian menutupnya pelan dan terjatuh dengan punggung bersandar pada daun pintu. Tangannya meraih rambut, menariknya kuat, berusaha memastikan. Kemudian ia terisak. Ini bukan mimpi. Zoro menciumnya seakan mereka sudah saling memiliki. Tapi Zoro bukan miliknya, pun begitu sebaliknya. Kenapa pria itu melakukan ini padanya. Kenapa mempermainkan hatinya dengan begitu mudah. Kenapa menyelamatkannya. Kenapa perhatian padanya.
Ia tersedu. Zoro adalah pacar dari Kozuki Hiyori. Harusnya dia tahu batasan yang tak boleh ia lampaui.
.
.Beberapa hari berlalu sejak insiden Judge mendatangi rumahnya. Sanji mulai menjaga jarak dari Zoro, yang tentu saja menimbulkan tanda tanya bagi sebagian orang yang mengenal mereka. Zoro sendiri sadar dengan tingkah Sanji, tapi ia tetap memperlakukan si pirang itu seperti biasanya.
Hari itu ada kelas biologi lagi. Hiyori tidak masuk, sakit katanya. Gadis itu meminta Zoro mengantarkan sekotak stroberi segar untuknya setelah pulang sekolah, Sanji dengar dari Zoro yang bercerita di mobil selama berangkat ke sekolah. Sanji duduk sendiri di kursi barisan tengah, membiarkan Zoro sendirian di belakang. Ia bertopang dagu, memainkan pulpen di tangannya. Pelajaran biologi membuatnya sering menguap. Tapi kebosanannya sirna begitu saja ketika guru memberikan tugas berpasangan.
Sanji menoleh ke kanan dan kiri, bersiap mencari seseorang untuk dijadikan teman sekelompok. Mendadak bayangan tubuh tinggi menutup tubuhnya dan sebuah buku paket tebal dijatuhkan di mejanya. Sanji mendongak, melihat Zoro berdiri di belakangnya. "Ayo denganku saja,"
Sanji bersungut. Sejujurnya ia sedang menghindari Zoro. Tapi apa boleh buat, pria itu juga tidak punya pasangan lain. Ia mengangguk, membiarkan Zoro menarik kursi dan duduk di sebelahnya. "Tidak mau menunggu Hiyori?" tanya Sanji.
Zoro mengangkat sebelah alisnya. "Biar saja, dia sedang tidak sehat. Baiklah, aku akan mengerjakan bagian yang ini ya?" Zoro menunjuk halaman di buku paket. Mereka bergegas mengerjakan tugas tanpa banyak bicara. Di antara pasangan ramai lainnya hanya mereka yang tenggelam dalam kesunyian.
.
."Mau pulang denganku atau Ace lagi?" Zoro berdiri di depan pintu mobilnya. Sanji berdiri ragu di sampingnya.
"Denganmu,"
Zoro tersenyum dan membukakan pintu di samping pengemudi. "Ayo masuk," ia mendorong tubuh Sanji dan memasangkan sabuk pengaman pada si pirang. Sudah lama sejak mereka pulang bersama. Rasanya aneh dan tapi membuat kupu-kupu berterbangan di perut Sanji. "Mau mampir ke supermarket? Aku harus beli stroberi dulu,"
Sanji mengangguk. Lagipula ia hanya penumpang, tidak berhak memutuskan. Tapi dia masih penasaran kenapa pria keras kepala seperti Zoro luluh untuk seorang Hiyori. "Apa bersama dengan Hiyori menyenangkan?" tanya Sanji tiba-tiba.
Dua tangan Zoro masih berada di kemudi, mengendalikan arah roda mobil berputar. "Entahlah, aku juga bingung." jawabnya. "Awalnya aku melakukannya untuk melupakan sesuatu," ia menarik napas dalam dan melirik Sanji sebelum melanjutkan. "Kurasa tidak terlalu berpengaruh."
"Melupakan apa?"
"Seseorang yang berharga," jawab Zoro. Mobil berbelok tajam di sebuah tikungan ketika ia mengatakannya. Sanji termenung. Seseorang yang berharga ya.
~•-•~
Makasih banyak buat vote dan komennya! (ノ◕ヮ◕)ノ*.✧
KAMU SEDANG MEMBACA
The Times We Spent Together
FanfictionHari-hari yang kita lalui bersama selalu menyenangkan. Waktu yang kuhabiskan bersamamu tidak pernah membuatku menyesal. Kupikir aku sudah benar-benar jatuh cinta padamu. Bagaimana caranya untuk berhenti menyukaimu? . . a ZoSan fanfic By Oxodust OC f...