VI

895 150 3
                                    

Mereka sedang duduk di bawah rindangnya pohon belakang rumah. Sanji dengan bukunya dan Zoro dengan tugasnya. "Ingat kita pernah buat rumah pohon di sini?" tanya Zoro sambil menulis di atas bukunya. Sanji menengadah, melihat sisa kayu yang sempat mereka buat saat kecil. "Kau merengek minta dicat hijau,"

Sanji menyenggol lengan Zoro. "Aku tidak ingat meminta warna hijau," ia merengut.

"Lihat saja sendiri sisa kayunya," ia menunjuk beberapa bagian yang masih memiliki cipratan hijau daun. Netra biru Sanji memandanginya, mengingat lagi alasan ia lebih pilih warna hijau dibanding biru. "Ingat kita sering main tembak air di halaman?"

Sanji tersenyum dan mengangguk. "Aku ingat,"

Zoro melirik senyum yang terbentuk di wajah Sanji. Lalu ia menutup pulpennya dan berdiri. "Tetap disini," ujarnya sambil memasuki gudang di samping rumah. Kemudian ia keluar membawa dua pistol air. "Mau main?"

Sanji menutup bukunya dan membawa semua barang mereka masuk rumah. Kemudian ia keluar dan mengambil satu pistol dari tangan Zoro. Mereka mengisinya di keran belakang rumah kemudian Zoro menyemprot lebih dulu. Sanji menoleh, melihat seringai congkak dari si hijau. "Curang! Aku belum selesai!" seru Sanji kesal. Air masih mengucur dari keran, mengisi pistol kuningnya.

Setelah selesai mengisi, ia mulai menembakkan air ke wajah Zoro dan berusaha menghindar dari tembakkan si hijau. Zoro tertawa ketika Sanji menembakinya terus menerus. Kemudian, dalam keadaan basah kuyup, ia berkata, "Hei, bagaimana kalau kita pakai balon air juga?"

"Kau punya?" Sanji menurunkan pistolnya. Dengan cepat Zoro menembaki si pirang ketika ia lengah dan kabur begitu saja. "Zoro!!" Sanji mengusap wajahnya yang basah dan bergegas mengejar si hijau dari belakang. Ia menabrak tubuh Zoro hingga keduanya terjatuh ke atas rerumputan hijau. Mereka sempat berguling beberapa saat sebelum akhirnya terbaring menatap langit biru musim panas.

"Hahahaha!" gelak tawa keluar dari keduanya ketika duduk dan melihat satu sama lain. Rambut, wajah, bahkan baju mereka basah. Sanji melirik kaus putih Zoro yang kini tembus pandang, mencetak perut kotaknya dengan sempurna. Semburat merah muncul di wajahnya. Ia menunduk, berpura-pura mengeringkan kausnya.

"Ada daun," tangan Zoro meraih rambutnya, melepaskan daun hijau dari sela rambut pirang. "Oh ya, setelah ini kau mau apa?" tanyanya.

Sanji meletakkan kedua tangan di sisi kiri dan kanannya kemudian menjatuhkan kepala ke belakang, melihat langit cerah. "Pergi ke bioskop dengan Ace,"

Sanji tidak bisa mengetahui dengan pasti seperti apa reaksi yang Zoro keluarkan. Wajah pria itu sempat mengeras untuk beberapa saat dan bertanya, "Siapa lagi?"

"Hanya Ace, mungkin dia juga akan mengajakku makan malam, kau tidak ajak Hiyori keluar?" Sanji mengalihkan pertanyaan. Tapi wajah Zoro tetap aneh. Ia seperti terganggu akan sesuatu dan dua sudut bibirnya agak tertarik ke bawah. Mukanya masam tapi menurut Sanji itu lucu. Mengingatkannya ketika Zoro masih kecil dan ngambek seharian hanya karena ia lupa janji bermain bersama.

"Hiyori sedang berlibur ke Positano," ujarnya.

"Sendirian?"

Zoro menggeleng. "Dengan keluarganya," ia menarik beberapa rumput yang ada di genggamannya. "Suatu saat nanti... kalau bisa.. aku mau berkeliling dunia denganmu,"

Sanji tertegun. Ia melipat dua kakinya di depan dada dan menyandarkan kepalanya pada lutut. "Aku juga."

.
.

Ace sudah menunggu di depan rumah dengan mobil range rover miliknya. Dengar-dengar mobil tersebut hadiah ulang tahunnya yang ke-17. Sanji merapikan diri di depan cermin dan membuka pintu rumah, melihat Ace berdiri di sana dengan baju santainya. Tidak lupa Ace meminta izin pada Sora sebelum mengajak Sanji pergi ke bioskop di tengah kota.

Ace membukakan pintu dan membiarkan Sanji masuk lebih dulu kemudian berlari ke kursi di kiri. Ia duduk dan mengenakan sabuk pengamannya. Tangannya menyalakan radio yang kini memutar lagu untuk menjadi teman malam mereka.

Sanji tidak berkedip ketika mobil melewati deretan gedung-gedung perkotaan yang terlampau tinggi. Lampu-lampu di sudut kota bersinar terang, tidak seperti perumahan. Helaan napas dengan sirat bahagia keluar seiring kilau lensanya menangkap tiap sudut kota, mobil lalu lalang beserta tiang-tiang lampu jalanan yang hangat. Deretan gedung tinggi dengan pendar kekuningan dan toko-toko kecil yang bercahaya akan neon pink berpadu biru menjadi penghias jalan. Tampaknya pusat kota pun tetap ramai bahkan ketika larut dalam pekatnya malam.

Ace memasuki area parkir di lantai bawah tanah. Pintu dibuka ketika mobil sudah terparkir sempurna. Sanji turun dan berjalan di samping pria yang lebih tua. Ia sedikit melirik Ace. Rambut hitam ikalnya tampak memantulkan sinar biru yang menjadi penerang tempat parkir. Dia tampak hangat. Lebih hangat dari musim panas.

"Kau suka film apa?" tanya Ace.

Sanji tersentak dari lamunannya dan segera menatap jalanan di depannya. "Aksi, komedi, horor juga," ia menuturkan semua genre kesukaannya.

Mereka masih berjalan di trotoar sampai akhirnya masuk ke dalam sebuah bangunan. Ace menuju loket dan memesan tiket film. Ia kembali pada Sanji dan memberikannya satu tiket. "Filmnya akan mulai satu jam lagi, ayo makan malam dulu," usul Ace. Tangannya diulurkan pada Sanji, menunggu Sanji mau menggandeng balik. Perlahan tangan Sanji menerima milik Ace dan mereka berjalan keluar dari gedung bioskop berdua.

~•-•~

Makasih banyak buat vote dan komennya! Semoga suka ceritanya hehe ❤️

The Times We Spent TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang