XI

817 136 7
                                    

Ketika tersadar, Sanji sudah duduk dalam sebuah pesawat pribadi. Di sisi kanannya duduk seorang wanita berparas cantik dengan rambut pink apik membingkai wajahnya. Kakinya disilangkan di atas kaki lain dengan dua tangan membuka lebar majalah fashion ternama. Kedua lensanya tertutupi kacamata hitam legam. Ia masih tetap membaca walau sadar Sanji berulang kali menengok.

"... Reiju?"

Akhirnya ia melepaskan kacamatanya, menaikkannya ke atas kepala kemudian menutup majalah dengan cepat. Ia bersandar pada kursi kemudian tersenyum. "Masih ingat aku?" tanyanya.

Sanji berusaha menyamankan diri di samping sosok saudaranya yang sudah belasan tahun tak ia temui. "Kita mau ke mana?"

"Italia, lebih tepatnya Toskana," sebuah suara lain menjawab. Sanji terdiam. Ia kenal suara itu. Namun mulutnya terkunci rapat, tidak mampu bertanya lebih lanjut. Suara dari kakak merahnya itu mampu membuat sekujur tubuhnya membeku. Ia membencinya.

"Dua hari lagi pernikahanmu," kini Reiju kembali bersuara. "Akan dilaksanakan di Toskana, bukankah indah? Mereka akan menyiapkan banyak pasta, kue, dan wine,"

Sanji menatap keluar jendela. Ia termenung. Pantulan dirinya di kaca yang masih mengenakan pakaian kelulusan membuatnya teringat akan kejadian pagi tadi.

Ace menyatakan cinta.

Benar-benar di luar dugaan.

Wajah Sanji kembali bersemu begitu mengingatnya. Karena tidak hanya perasaan yang diutarakan, melainkan sebuah ciuman lembut didaratkan pada kurva bibir merahnya, bahkan dengan senang hati ia membalasnya dengan dua tangan mengalung mesra pada leher kokoh pria yang sedikit lebih tua darinya. Awalnya ia sempat menimbang untuk menerima perasaan Ace, toh Zoro sendiri yang bilang dia bahagia bukan main jika Sanji bersama orang sebaik Ace. Tapi sudah tidak ada gunanya memikirkan itu sekarang, dengan pernikahan yang direncanakan Judge, tidak ada gunanya ia memikirkan Ace.

"Kau demam?" bisik Reiju begitu sadar wajah merah di sampingnya.

Sanji menggeleng. "Aku haus."

Tangan Reiju mengambil botol minuman dari dalam tasnya dan memberikannya pada Sanji. Si pirang hanya mendengus menatap botol dalam genggaman kakak perempuannya itu. "Bagaimana aku bisa yakin kau tak menaruh racun di dalamnya?"

Awalnya Reiju terperangah, namun kemudian terukir senyum di wajah wanita tersebut. "Aku tidak mungkin meracuni barang berharganya Ayah,"

Manik Sanji berkilat emosi mendengar kata yang keluar dari mulut Reiju. Barang berharga? Sejak kapan ia menjadi 'barang' milik Judge? Nafasnya menderu ketika ia menarik botol dari tangan Reiju dan meneguknya cepat. Emosinya tak lagi terkontrol. Dengan kesal ia membanting botol hingga terdengar oleh satu pesawat. "Kau apakan dia, Reiju?" sosok hijau menengok dari balik kursi mereka.

"Tidak ada, botolnya hanya terpeleset dari tangan Sanji," jawab Reiju.

"Tenanglah sedikit, setidaknya kau harus terlihat baik di depan tunanganmu haha," tawa mengejek keluar dari rambut biru.

Sanji tidak menanggapi, bagaimana pun ia akan kalah di atas pesawat ini. Tidak mungkin ia bisa kabur, kecuali kalau nekat terjun dari pintu pesawat. Dan tempat ini terlalu sempit untuk melawan keempat saudaranya.

Mendadak Reiju menyelipkan secarik kertas di antara tangannya. Sanji meliriknya kemudian membaca isi kertas. Reiju ingin berbicara empat mata dengannya setelah pesawat mendarat. Ia menghela napas, omong kosong apa lagi ini.

.
.

Ia berdiri di depan Reiju dengan satu kaki menghentak lantai marmer. "Deg-degan?" tanya Reiju. Tak kunjung mendapat jawaban akhirnya ia kembali bertanya, "Bagaimana kabar ibu?"

"... memar, lebam, kau sudah tahu siapa penyebabnya,"

Reiju berdecak. "Kurasa tinggal di sana tidak berguna lagi untukmu, bagaimana jika tinggal denganku saja di Praha? Aku akan pastikan ayah tidak mengetahui keberadaanmu dan ibu lagi,"

Sanji menganga. "A-apa maksudmu? Memangnya kau peduli denganku dan ibu? Kau bahkan tidak pernah sekalipun mengunjungi kami!" ia berseru.

"Sanji... Aku selalu mengingatmu dan ibu, kau pikir siapa yang menahan Ayah untuk tidak menghancurkan rumahmu dan melukaimu?" tanya Reiju.

"Lalu kau biarkan dia melukai ibu?"

Reiju menggeleng. "Maafkan aku Sanji, aku tidak tahu dia melakukannya," ucapnya menyesal. Sanji hanya bisa membisu. Reiju menghela napas kemudian berjalan meninggalkan Sanji sendiri.

.
.

"Bagaimana ini... Sanji belum juga kembali," Nami menghentakkan kakinya berkali-kali. Ia baru mendapat kabar dari Zoro mengenai ketidakpulangan Sanji. Pria pirang itu sudah menghilang lebih dari 12 jam. Ia, Luffy, Usopp, dan Chopper berkumpul di rumah Sanji untuk menenangkan Sora sekaligus menguatkan ibu tersebut di tengah larut malam. Zoro sendiri masih berusaha menghubungkan ponselnya dengan nomor Sanji. Sayangnya berulang kali tidak kunjung ada yang mengangkatnya.

Zoro menghantamkan tinjunya ke dinding. "Angkat ponselmu bodoh..."

~•-•~

Makasih buat yang udah mau baca, vote, dan komen! ♡(ӦvӦ。)

The Times We Spent TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang