VIII

886 146 3
                                    

"Siapkan makanannya Sanji, dua jam lagi kita berangkat," Sora tersenyum ketika melihat Sanji mengeluarkan quiche dari oven. Sanji balas tersenyum dan mengangguk. Ia juga tidak sabar untuk piknik tahun ini. Tiap musim panas, kedua tetangga tersebut selalu melaksanakan piknik bersama di sebuah taman pinggir sungai. Airnya jernih dan pepohonannya rindang. Kadang ada apel ranum lezat dan ceri merah merekah bergelantungan di tiap pohon. Terlebih lagi buah-buahan itu boleh dipetik gratis. Dulu ketika kecil ia ingat pernah meminta Zoro memanjat satu pohon ceri untuk mengambilkannya beberapa buah ceri ukuran besar.

Ibunya tampak sibuk menyiapkan barang-barang seperti botol jus dan gelas dalam keranjang rotan yang biasa mereka bawa. Sanji sendiri mulai memotong quiche, merapikan buah, dan memasukkan donat dalam tempat yang sudah ia sediakan. Ia mengambil tas sewarna kopi dan memasukkan semua makanan. Mendadak mereka dengar suara klakson dibunyikan sekali. Sanji mengangkat bawaannya dan menggandeng tangan Sora keluar. Ia mengunci pintu rumah dan berjalan duduk di kursi belakang. "Selamat siang Tante," sapanya.

"Sanji sayang! Tante bawa buku novel yang mau kamu baca itu loh!" Ibu Zoro menoleh ke kursi belakang dan mengeluarkan sebuah novel bersampul hitam. Ia lantas memberikannya pada Sanji, membuat secercah senyum terbentuk di wajah yang lebih pucat. Zoro menyempurnakan letak spionnya dan menjalankan mobil.

Tak lama kemudian mobil berhenti di sebuah taman yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Zoro mulai menggelar karpet di atas hijau rerumputan dan Sanji meletakkan keranjang makanan di atasnya. Ia mulai mengeluarkan dan menyusun makanan di atas kain dengan bantuan Zoro. Para ibu berbincang seraya menuangkan jus ke dalam gelas.

Taman itu hijau segar dengan langit biru luas membentang. Untunglah cahaya matahari tidak begitu terik. Beberapa burung terbang dari satu pohon ke pohon lain. Suaranya bercuit-cuitan nyaring. Warna merah segar dari apel yang menggantung di pohon juga mewarnai suasana musim panas.

Sanji mulai duduk dan memakan satu donat. Ia membuka buku di tangannya dan membalik lembaran perlahan. Perbincangan kedua ibu mereka mulai terdengar memudar di telinganya seiring lembar baru. Ini kenapa ia menyukai buku. Mereka mampu membawa Sanji jauh dari dunia nyata.

Zoro di sampingnya pun tak jauh berbeda. Ia membuka buku di tangannya dan membaca sebuah buku yang jauh lebih tebal tentang astronomi dan segala tetek bengeknya; entahlah, Sanji sendiri kurang paham. Sanji sedikit meliriknya. Melirik wajah tampan yang mampu membuatnya terpikat. Rambut hijaunya sedikit bergoyang tertiup angin. Ia mengangkat wajah dari buku, membuat Sanji seketika memalingkan wajahnya dan bersembunyi di balik buku miliknya.

"Sanji, Zoro, kalian bisa jalan keliling taman kalau bosan," Sora tersenyum, mengacak rambut Sanji pelan.

Sanji menoleh, pandangannya terkunci pada iris cokelat yang menjulurkan tangannya. "Ikut denganku?" tanyanya. Sanji awalnya ragu namun akhirnya menerima uluran tangan tersebut dan meletakkan bukunya di pinggir tikar.

Kakinya mulai melangkah di samping Zoro. Mereka melewati pohon apel dan tangan Zoro terangkat untuk memetiknya. Ia melempar-lempar apel merah di tangannya dan tersenyum. "Kau mau?" Sanji mengangguk. "Tangkap," Zoro melemparkannya.

"Ah hei! Jangan tiba-tiba begitu!" seru Sanji walau ia berhasil menangkapnya. Zoro tertawa kecil. Sanji mulai menggigit apel di tangannya dan menoleh ke pemandangan di sekitar. Matanya tertuju pada pohon ceri yang cukup tinggi dan menunjuknya. "Ingat kau pernah memanjat pohon ceri untukku?"

"Ya, lalu aku terjatuh dan kau menangis, keras sekali," ia terbahak. Wajah Sanji memerah. "Karena kita bertambah tinggi pohon ini jadi terlihat pendek, kau mau lagi?"

"Ambil beberapa saja," ujar Sanji. Tangan Zoro menggapai beberapa ceri dan memetiknya, menjatuhkannya ke tangan Sanji. "Sudah, ayo lanjut jalan," Sanji menarik lengan Zoro lembut. Mereka melewati beberapa bunga-bunga dan air mancur. Terus berjalan di jalan setapak dari bebatuan. Sesekali Sanji memberikan ceri untuk Zoro. Kemudian berjalan lagi melewati bangku dan pahatan malaikat. Mereka saling mengingatkan cerita satu sama lain, mengingat memori bersama. Terkadang memori konyol, kadang juga bahagia.

"Jadi... masih kesal denganku?" tanya Zoro tiba-tiba.

"Soal apa?" Sanji balik bertanya.

Zoro mengangkat bahu dan menggaruk belakang kepalanya. "Entahlah, malam setelah pertandingan mungkin," Zoro menanggapi.

Sanji menatap sneakers yang ia kenakan selagi berjalan. "Tidak." jawabnya singkat. Ia terlalu malas untuk menjelaskan perasaannya pada si hijau. Lagipula tidak seperti perasaannya penting untuk Zoro kan?

Zoro menghembuskan napas.

.
.

Mobil yang mereka kendarai berhenti di depan gerbang pemakaman. Sanji membuka pintu dan membuntuti kedua orang di depannya. Ibunya ikut berjalan di sampingnya sembari menggamit tangannya pelan. Iris biru mulai mengitari isi pemakaman luas tersebut. Dari sudut matanya ia bisa lihat seorang wanita tua duduk sendirian di depan batu nisan, tidak sedang menangis. Di sisi lain ada pria dan seorang wanita menangis di atas makam berumput hijau.

Mereka berhenti di depan sebuah batu. Sanji memperhatikan nama yang tertera. Nama dari ayah Zoro. Rambut pirangnya berayun ketika angin berhembus kencang, ia mengusap sudut matanya yang terasa perih karena bebatuan dan debu yang terbawa angin. "Hei, tidak apa?" bisik Zoro. Sanji mengangguk.

Zoro kembali melihat batu nisan dan meletakkan bunga yang sempat mereka beli. Kemudian ia kembali memasukkan dua tangannya ke dalam saku. "Tidak ingin mengatakan apapun?" tanya sang ibu. Zoro menggeleng.

Tapi Sanji tahu dua bola mata pria di sebelahnya sudah berair hanya dengan menatap batu nisan itu. Sanji tidak mengerti rasanya menangisi seorang ayah. Ia kembali melihat buket bunga segar di atas kuburan.

~•-•~

Makasih banyak buat yang udah mau baca, vote, dan komen! Semoga suka! ❤️

The Times We Spent TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang