V

948 156 10
                                    

Perlahan musim semi berganti menjadi musim panas. Libur musim panas akhirnya datang juga. Tidak ada kegiatan pasti bagi Sanji. Ia hanya ingin istirahat di rumah dan mungkin mengunjungi kolam renang publik bersama yang lain. Ace juga sempat menawarkan untuk pergi ke bioskop di hari ketiga musim panas yang tentu saja disanggupi oleh Sanji.

Siang itu ibunya meminta Sanji untuk mengantarkan telur ke rumah Zoro. Sanji segera mengenakan kaos putih polosnya dan celana pendek biru dongker. Ia masuk lewat pintu belakang dan meletakkan telur di dalam kulkas rumah Zoro. Lalu ia dikejutkan dengan kehadiran Zoro di anak tangga tanpa baju atas.

"Sedang apa?" tanya Zoro. Ia berjalan mendekati kulkas, mengambil botol soda dingin. Suaranya baritone-nya serak seperti baru bangun.

"Membawa telur," jawab Sanji. Setelah beres merapikannya ia berbalik, hendak meninggalkan rumah Zoro. Tapi kemudian ia melihat sebuah pedang bambu yang disandarkan di pinggir tangga. "Kau tetap ikut latihan kendo di musim panas?" ia memeriksa pedang tersebut, melihatnya lamat.

"Ya, hari ini ada latihan di ruang gym sekolah, sebentar lagi akan diadakan pertandingan," jawab Zoro. "...kuharap kau mau datang," lanjutnya lagi setelah menjeda beberapa saat.

Sanji tersenyum simpul. "Kapan?" tanyanya.

"Dua minggu lagi, hari Sabtu."

Sanji mengangguk dan berjalan keluar rumah Zoro. Mereka sudah berbaikan sejak kejadian ciuman itu dan masing-masing sudah melupakannya. Sanji juga tidak pernah mengungkit soal itu, ia memilih melupakannya. Beberapa minggu menghindari Zoro sudah cukup memuakkan dan pada akhirnya mereka kembali berteman seperti biasa.

Sanji merebahkan tubuhnya di atas kasur beralas putih. Tangannya menggapai buku di rak gantung, mencari novel yang bisa menemaninya selama musim panas. Ia menyesuaikan kepala di atas bantal dan mulai membaca isi buku. Jam berlalu, matahari di luar masih bersinar terik dengan pepohonan hijau segar dan beberapa dahan yang kering. Sanji masih belum menyelesaikan bukunya ketika ibunya mengetuk pintu kamar dan mengintipnya

"Zoro pergi latihan kendo," kata sang ibu. Sanji tidak berpaling dari bukunya dan hanya mengangguk sebagai jawaban. "Ibu buat makan siang kebanyakan, tolong bawakan sebagian untuk Zoro ya?"

Alisnya terangkat dan lensanya melirik jam dinding. "Memang dia nggak bawa bekal?" akhirnya ia menutup bukunya dan turun dari kasur.

Ibunya mengangkat bahu tanda ia tidak tahu juga. Tapi Sanji tidak bertanya lebih lanjut dan hanya menuruti permintaan ibunya. Ia turun ke lantai bawah dan masuk ke dapur. Tangannya meraih kotak bekal biru dengan tutup kuning. Sanji mulai memasukkan beberapa grilled cheese dan lasagna. Setelah menutupnya rapat, ia keluar mengambil sepeda yang terparkir di samping garasi. Sanji memasukkan kotak bekal ke dalam keranjang dan mengayuh pedal di bawah langit biru cerah.

Sekolah tidak benar-benar tutup saat musim panas. Contohnya saja gym. Tempat luas itu masih terbuka untuk kegiatan ekskul maupun latihan lain. Sanji memasuki pintu dan melihat sekeliling. Lalu ia menemukan pria tinggi berambut hijau pendek sedang mengayunkan shinai, berduel dengan teman lain.

Sanji mencari tempat di bangku penonton dan duduk di sana. Ia melepas topinya dan mengibaskannya di depan wajah. Suhu musim panas tahun ini jauh lebih tinggi dibanding tahun lalu. Mungkin pemanasan global. Entahlah, yang penting tubuhnya berkeringat sekarang. Ia menonton latihan Zoro dari jauh. Pria itu selalu bersemangat dan tekun dalam hal yang ia sukai. Ia menangkas pedang lawan dengan gesit dan balik mengayunkan pedangnya. Gerakannya cepat dan kuat. Menurut Sanji, Zoro adalah pria paling bersinar ketika melakukan kendo.

Peluit akhirnya dibunyikan tanda memasuki waktu istirahat. Sanji terkesiap ketika Zoro melihatnya dari bawah. Ia mengangkat kotak bekalnya dan turun mendekati si hijau. "Ibu menyuruhku membawakanmu makan siang," ia menyerahkan kotaknya.

Zoro membuka isi kotak. Seorang gadis dengan hakama datang dan melirik dari balik pundak Zoro. Rambutnya biru gelap menuju hitam. Senyum terpancar dari wajahnya ketika melihat Sanji. "Ini yang namanya Sanji?" tanyanya. Zoro hanya mengangguk. "Astaga! Zoro selalu cerita tentangmu— ugh!" siku Zoro dengan cepat menyenggol pundaknya.

"Diamlah."

"Kau kasar sekali Zoro!" ia balas memukul pundak Zoro kencang hingga suaranya menggema di dalam gym. Sanji membola melihatnya. Ia belum pernah lihat gadis ini sebelumnya. "Aku Kuina! Senang bertemu denganmu,"

"Iya, hehe,"

"Hei Zoro, boleh aku minta?" ia menunjuk isi bekal yang dibawakan Sanji.

Zoro menggeleng dan memeluk kotak bekalnya menjauh dari Kuina. "Kau makan bekalku saja, yang ini punyaku," ia menunjuk tas hitam yang tergeletak di lantai. Kuina mengerucutkan bibirnya dan menggerutu sebelum pergi.

"Kau bawa bekal?" tanya Sanji.

"Hanya roti isi dan onigiri," jawab Zoro sambil mengunyah grilled cheese. "Tidak bawa minum sekalian?" tanya Zoro. Terkadang Sanji sering memberikannya jus sayur di sekolah. Kali ini tidak.

"Ah aku lupa! Lain kali kalau mau latihan kau bisa minta kok," ia tertawa. Kemudian Zoro menggandeng tangan Sanji, membawanya duduk di lantai di pinggir gym. Mereka duduk berdua sambil berbagi cerita. Zoro akhirnya selesai lebih cepat dibanding jam istirahat. Ia berdiri, memegang pedang bambunya. Sanji mendongak, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan pria itu selanjutnya.

Zoro kemudian melempar pedangnya pada Sanji dan berkata, "Aku berani bertaruh kau payah dalam bermain pedang." Ia melipat tangan.

Pelipis Sanji berkedut kesal. Ia berdiri dan mengarahkan pedang pada dada Zoro. "Jangan sombong," ucapnya. Ia maju dan mencoba mengayunkan pedang. Kuina yang melihatnya hanya tertawa kecil.

"Cara pegangnya salah Sanji!" Ujarnya. "Begini," ia memeragakan memegang pedang dengan tangan kosong. "Nah! Benar begitu bagus!"

Sanji mulai mengayunkan pedang dengan genggaman seperti yang diajarkan Kuina. "Posturmu salah, kalau seperti itu bisa sakit punggung," kini Zoro yang menegur. Sanji berusaha menyamakan posturnya dengan yang ia lihat saat Zoro latihan, tapi pria hijau itu malah mentertawakannya.

Sanji semakin berapi ketika mendengar tawa membahana. Mendadak ia malah merasakan dua tangan di tubuhnya. Satu di bahu dan satu lagi punggung. "Begini," suara rendah Zoro di belakangnya menuntun postur Sanji.

"Lalu cara kau mengayunkannya juga salah," kini dua tangan itu memeluk tubuhnya dari belakang, menggenggam tangannya yang sedang memegang pedang kayu. Wajahnya berada sedekat mungkin dengan Sanji. Sangat dekat bahkan si pirang bisa merasakan napas Zoro menyapu leher dan telinganya.

Zoro mulai memandu tangan Sanji untuk mengayunkan pedang. Dengan mudahnya ia mengendalikan pedang kayu. "Ini dasar ayunan pedangnya." Ia melayangkan pedang ke depan, menebaskannya ke samping, dan terus begitu selama hampir 3 menit.

Kemudian ia melepaskan tangannya dari Sanji. "Bagus, kau sudah mulai mahir," pujinya. Wajah pucat Sanji sekarang memerah, entah karena tersipu atau pengaruh musim panas.

~•-•~

Besok libur kemerdekaan! Tetap taat prokes dan jaga kesehatan yaa! Makasih buat yang udah vote dan komen! 💖

The Times We Spent TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang