4. Small Talk

5.2K 624 28
                                    

Jena sadar selama perjalanan turun ke Starbucks, banyak mata yang mengawasi ia dan Jinan. Dan bukannya tak mungkin jika di belakang mereka, pemilik mata-mata itu setelah ini akan sibuk bergosip atau sekedar bertanya-tanya.

Ya wajar, sih.

Jena dan Jinan yang selama ini dikenal tidak akur, mendadak terlihat berjalan beriringan berdua.

Oh, andai mereka semua tahu bahwa terlihat dalam situasi seperti ini adalah hal terakhir yang diinginkan oleh Jena dalam hidup.

"Lo mau minum apa?" tanya Jinan pada Jena di depan counter, sesampainya mereka di Starbucks.

"Pesen masing-masing aja," jawab Jena malas.

Jinan melirik Jena sedikit. "Terserah kalau mau lo gitu." Matanya memindai papan menu dengan cepat. "Saya seperti biasanya, Mas. Caramel Cream Frappuccino grande. Satu."

Jena yang tadinya sibuk melihat layar ponselnya, tertegun mendengar pesanan Jinan. Ia tak menyangka bahwa pria arogan dan keras kepala seperti Jinan mempunyai selera minuman yang manis, seperti dirinya. Espresso yang pekat dan pahit seharusnya lebih cocok untuk Jinan. Sesuai dengan sifatnya yang tak ada manis-manisnya itu.

Lucu sekali.

Dan kemudian matanya melebar ketika ia mendengar Jinan berbicara lagi.

"Atas nama Elsa, ya."

Elsa? Elsa who? Is that the name of his girlfriend?

Jinan menoleh pada Jena yang berdiri di belakangnya. "Gue duluan duduk."

Masih dalam keheranannya akan hal yang baru ia dengar, Jena hanya menggumam mengiyakan.

Setelah menyelesaikan transaksi pesanannya, ia menghampiri Jinan yang sudah duduk dengan melihat Macbook yang terbuka di meja.

Jena menarik kursi di depan meja Jinan, kemudian duduk dan menyimpan ponselnya ke dalam tas. Walaupun ini di luar kantor, tapi tetap saja mereka sedang meeting, toh?

Diam-diam diamatinya pria di depannya yang sedang memperhatikan layar laptopnya itu dengan seksama. Telinganya menangkap samar beberapa bisikan pengunjung yang lain, sedang menyebut-nyebut nama Jinan.

Sebenci-bencinya ia dengan Jinan, ia tak menutup mata bahwa Jinan bisa dikategorikan sebagai pria yang banyak memiliki penggemar wanita.

Tapi, apa sih yang mereka lihat dari Jinan?

Ia telah banyak melihat Jinan selama dua tahun ini, tapi kali ini ia akan berusaha melihat dari kacamata seorang yang asing, seseorang yang belum pernah melihat dan mengenal Jinan secara personal.

Jena menyingkirkan semua kebenciannya pada Jinan dan mencoba menempatkan penilaiannya secara objektif.

Mulai dari wajah. Tidak seperti kebanyakan pria yang berwajah lebar, wajah Jinan justru termasuk kecil. Bentuknya panjang dengan dagu yang meruncing dan janggut yang dicukur bersih. Itulah yang membuat Jinan mempunyai kesan sebagai orang yang halus pribadinya. Huh. Wajah memang bisa menipu.

Kemudian tubuh. Perawakan Jinan tinggi kurus dan mempunyai kaki yang panjang. Tetapi tubuh kurus Jinan bukanlah kurus seperti orang yang lemah. Justru sebaliknya. Jena cukup bisa menduga, ada otot-otot yang terbentuk di situ meski tak sebesar milik binaragawan.

Jinan selalu berpakaian rapi layaknya karyawan teladan. Sepanjang Jena mengenal Jinan, belum pernah ia melihat pria itu memakai baju selain kemeja. Hari ini saja, Jinan memakai kemeja bergaris biru muda yang kalem. Warna pucat itu makin menonjolkan kulitnya yang terang dan rambutnya yang legam.

Well, Jinan memang tak bisa dikategorikan sebagai pria yang tampan dalam sekali pandang. Namun ia juga tak buruk. Sama sekali tidak buruk, malah.

Cat Fight  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang