Tangisan itu begitu pilu.
Jinan mencondongkan tubuhnya ke depan, berusaha melihat wajah Jena yang tersembunyi. Sama sekali tak menyangka jika wanita itu ternyata betul-betul menangis. Tubuh wanita itu bergetar dan goyah seakan hendak tersungkur ke tanah.
Rasa bersalah karena telah membentak Jena kemudian menyeruak dalam batin Jinan.
Ia menyentuh kedua lengan Jena sekilas, dan ketika tak nampak tanda-tanda perlawanan dari wanita itu, ia mulai berani memegangnya.
"Jen?" Suaranya melembut, memastikan keadaan Jena. Ia khawatir ia lah yang menjadi penyebab Jena menjadi shock seperti ini. "Maafin gue tadi udah ngebentak elo."
Tubuh wanita itu masih terasa gemetar di tangan Jinan meski tangannya telah diturunkan, menunjukkan wajahnya yang pias. Wanita yang selama ini selalu bertingkah galak seperti kucing betina itu benar-benar bersimbah air mata sekarang.
Jinan berusaha membujuk lagi. "Kita harus terus mengikuti acara ini sampai selesai. Lo bisa, kan?"
Mata wanita itu sudah mau menatapnya sekarang, tapi masih belum menghentikan tangisnya.
"Jena. Dengerin gue. Gue minta maaf kalau gue tadi sudah kasar ke elo. Jadi tolong, berhenti nangisnya."
Syukurlah. Akhirnya wanita itu mengangguk.
Jinan melihat kilau di mata Jena, pastinya disebabkan oleh air mata, yang entah bagaimana kombinasi sosok yang biasanya galak tapi sekarang terlihat begitu rapuh itu membuat hatinya sedikit bergetar.
Dan Jinan berusaha meyakinkan diri, getaran yang dirasakan olehnya ini pasti timbul akibat dari rasa bersalahnya terhadap Jena.
Jinan kemudian menyadari cara bernapas Jena yang menjadi cepat, pendek, dan dangkal. "Jen. Kenapa napas lo jadi begitu? Lo kesulitan bernapas?"
Tapi Jena tak menjawabnya. Wanita itu hanya memandangnya dengan tatapan kosong sementara cara ia bernapas masih tak mengalami perubahan.
Jinan mengambil inisiatif untuk menggenggam kedua tangan Jena. "Jena." Ia memanggil nama Jena untuk menarik perhatian wanita itu. "Atur napas lo. Ikuti kata-kata gue." Jinan mengeratkan genggamannya. "Tarik napas panjang, tahan sebentar, lalu lepaskan pelan-pelan. Kita lakukan sama-sama. Tarik napas, tahan dulu, lepaskan. Bagus. Kita ulangi. Tarik, tahan, lepaskan." Jinan terus membimbing Jena agar mengikuti instruksinya.
Ketika akhirnya napas Jena berangsur-angsur normal, Jinan memberanikan diri lagi. "Masih cemas? Lo mau gue peluk?"
Jinan yakin, memang ada sesuatu yang aneh dengan Jena, karena wanita itu kemudian kembali mengangguk untuk mengiyakan tawarannya, yang jika di dalam situasi normal mereka, tawaran itu pasti akan ditolak mentah-mentah.
Mengikuti dorongan di hatinya, perlahan ia merengkuh Jena. Jinan kemudian merasakan bahwa tubuh Jena masih gemetar. "Lo bisa denger gue kan, Jen? Kita sedang ada di mana ini sekarang?"
Wanita itu tak mau bersuara.
Jinan bertanya lagi. "Coba ingat pelan-pelan, kita sedang ada di mana ini sekarang?"
Beberapa saat kemudian Jena menjawab lirih. "Di ... rumah ... Pak Chairil."
"Betul. Kita sedang ada di rumah Pak Chairil. Kita ke sini karena undangan beliau untuk presentasi langsung. Lo udah ingat sekarang?"
Dalam pelukannya, ia dapat merasakan anggukan Jena.
Jinan menunggu beberapa saat sebelum kemudian melepas pelukannya. Tak dihiraukannya gelenyar aneh yang perlahan kini mulai merambati dadanya.
Pelukan ini cuma buat menenangkan dia. Jinan sekali lagi meyakinkan diri. Daripada Jena pingsan, gue akan semakin kerepotan nanti.
Dari kejauhan terdengar suara pembawa acara mulai berbicara dan disambut oleh sorak sorai tepuk tangan. Sepertinya acara sudah mulai dibuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cat Fight [COMPLETED]
ChickLit- Cerita Pilihan Bulan Desember 2021 oleh @WattpadChicklitID FOLLOW first because it's free. ❌ YANG PLAGIAT AKAN SAYA PERKARAKAN ❌ JinJen Series - ROMANTIC COMEDY, CHICKLIT, METROPOP TW // Adult Romance May contain some mature scene & convos. >>> >>...