23. Don't Want to Let You Go

4.3K 501 10
                                    

Sepeninggal Jena, Jinan tidak mampu berbuat apa-apa selain tergugu sendirian di kursinya.

Sepanjang ia mengenal Jena, baru kali ini ia melihat ekspresi Jena seperti tadi.

Ia sudah pernah melihat Jena marah, panik, menangis, salah tingkah, hingga senang, tapi belum pernah yang seperti barusan.

Ekspresi orang yang sedang terluka.

Dan itu justru membuat hatinya menjadi lebih sakit.

Walaupun wanita itu tak secara terang-terangan mengatakan bahwa dirinyalah yang telah melukai hatinya, ia tahu bahwa mungkin sebenarnya Jena ingin menyebutkan semua nama hewan di kebun binatang untuk menyumpahi dirinya.

Andai Jena tahu betapa ia memilih untuk disumpahi daripada melihatnya seperti tadi. Kalau ia yang ada di posisi Jena, pasti ia juga akan berbuat hal yang sama. Wanita itu berhak marah.

Jinan tersenyum pahit. Pengakuannya pada Jena membuat ingatannya terlempar kembali ke masa lalu.

"Lo semua udah tahu belum, kalau Jinandras itu punya penyakit lemah jantung? Sayang banget ya, cakep, kaya, tapi penyakitan."

Kakak tingkat yang sudah dekat dengannya selama empat bulan terakhir itu dengan enteng membicarakan dirinya seolah-olah dia hanyalah sebuah boneka kelinci yang tak punya perasaan.

Tangannya mengepal. Ia tahu, sembunyi di balik dinding kantin dan merutuki nasibnya yang menjadi bahan obrolan senior-senior di kampusnya seperti ini hanya membuatnya menjadi terlihat seperti pengecut, namun ia berusaha menahan diri.

Jangan pernah memukul wanita, kata Mama.

Serendah-rendahnya lelaki, adalah lelaki yang main tangan kepada wanita.

Maka beginilah ia. Hanya mampu berdiri di tempat tersembunyi, dan entah mengapa tetap tak mampu beranjak dari tempatnya, meski ia sadar betul beberapa orang sedang membicarakan aibnya secara terang-terangan.

Kepalan tangannya mengerat menyadari betapa menyedihkannya kondisinya sekarang. Hingga akhirnya ketika ia membukanya perlahan-lahan, ia mendapati bahwa di telapak tangannya terdapat bekas kuku-kukunya akibat mereka terlalu keras menghujam.

Meski begitu ia masih bertahan untuk membuktikan suatu kebenaran yang sudah mulai bisa diduganya kini.

"Apa kata lo? Gue pacaran sama dia?" Suara tawa kakak tingkatnya yang tadinya terdengar begitu indah bagi Jinan itu kini seperti menusuk telinganya.

"Ogah gue pacaran sama laki-laki penyakitan kayak gitu. Apalagi kalau sampai nikah. Nanti yang ada gue harus ngurusin dia terus tiap dia sakit. Tapi ya memang enak, sih. Duitnya banyak. Masa depan bakalan terjamin. Gue aja sekarang satu kelompok sama dia nggak perlu ngeluarin duit sepeserpun buat nugas. Dan kalian tahu nggak, kalau bapaknya Jinan adalah keluarga pemilik Buwana Group? Iya, Buwana Group yang perusahaan besar itu. Lumayan kan, Jinan bisa jadi link gue kalau lulus nanti. Keterima kerja di perusahaan besar seperti itu bakalan naikin nilai jual CV. Nggak kebayang kalau baru lulus langsung bisa kerja di situ. Iri kan, lo semua?"

Oh, cukup sudah! Dugaannya ternyata benar, ia sudah muak sekarang!

Jinan tak mau mendengar lebih lanjut. Matanya menutup beberapa detik sebagai upaya untuk mengontrol emosinya yang sebentar lagi akan meluap. Ia harus segera menjauh dari sini jika tak ingin kemarahannya meledak.

Dengan susah payah, kakinya berputar menjauhi kantin yang semula menjadi tujuannya karena ia mendengar bahwa kakak tingkat yang dicarinya itu sedang berada di sana.

Di tong sampah taman fakultasnya, ia melempar sebuah kotak karton berbentuk persegi panjang warna putih ke dalamnya. Kotak itu berisi ponsel merek kelas atas keluaran terbaru yang tadinya hendak ia berikan kepada wanita itu.

Cat Fight  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang