25. What Friends are for

4.2K 452 24
                                    

Bangun-bangun, Jena merasa tenggorokannya sangat kering, seolah-olah ia sudah berteriak di sepanjang tidurnya. Kepalanya terasa berputar seperti sensasi yang ia rasakan saat kali terakhir menaiki wahana sky swinger di taman hiburan.

Dan semua itu gara-gara oknum bernama Lesmana Jinandras!

Entah pukul berapa ia tertidur semalam. Setelah pembicaraannya dengan Jinan di kafe, terkadang ia menjadi suka menangis di jelang tidurnya.

Lucu, ya?

Kalau bukan karena sebentuk emosi yang disebut sebagai "harga diri", mungkin saat itu ia tak akan sanggup menahan keinginan untuk memutar langkah kakinya kembali lalu menghambur ke pelukan pria itu sambil mengucap bahwa ia menerima maaf darinya dan bersedia memulai semua dari awal lagi.

Tapi apanya yang harus dimulai? Ia bahkan tak tahu kata yang tepat untuk menyebut hubungannya dengan Jinan.

Apa bahasa anak sekarang?

Gebetan? Crush? HTS? FWB?

Tunggu. FWB? Friends With Benefits?

NO. She doesn't even fuck with him.

Well, not yet.

It's just a kiss. Only one kiss and that's enough to make a mess in her.

How funny you are, Jenaya.

Jena menggosok kedua sudut matanya kuat-kuat. Tanpa mempunyai hasrat sedikitpun untuk menyisir rambutnya, ia kemudian turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur.

Saat menenggak air dingin di dalam botol yang ia ambil dari kulkas, telinganya kemudian mendengar suara bel pintu.

Jena melangkah dengan gontai sambil bertanya-tanya, siapa kira-kira yang bertamu sepagi ini. Seingatnya ia sudah membayar iuran kas RT di awal bulan, arisan masih lama, janji temu juga tak ada. Jadi siapa yang datang?

"Pagi Jenaaaaaaa."

Jena memandang kedua sahabatnya dengan cemberut. Entah anugerah atau mimpi buruk, melihat Leon dan Rigel di depan pintu rumahnya pada hari Minggu jam tujuh pagi seperti ini.

"Mau ngapain kalian ke sini?"

"Main game lah! Ngapain lagi?" jawab Leon sambil cengengesan. Tatapannya lalu bergerak dari atas ke bawah, menyisir penampilan Jena yang hanya mengenakan kaos yang kedodoran dan celana pendek. Serta rambut yang awut-awutan.

"Ya ampun, anak gadis," komentar Leon sambil mengelus dada. "Sumpah muka lo nyeremin banget."

Seperti biasa, pria itu langsung merangsek masuk ke dalam rumah, tanpa menunggu dipersilahkan Jena, sebagai si pemilik rumah. Diikuti oleh Rigel yang sedang bersiul, entah menyenandungkan lagu apa.

Sedangkan Jena, yang sudah menyusun rencana seharian ini mau bergelung saja di dalam selimutnya seperti kepompong sambil menangis meratapi nasib, hanya bisa menatap kedua sahabatnya itu dengan kesal. Apa sih, maunya mereka?

"Gue lagi pingin sendirian sekarang!" omel Jena kesal dengan tingkah kedua sahabatnya yang dianggapnya sangat tidak pengertian itu.

Leon berjongkok di depan rak TV rendah di ruang santai yang di dalamnya terdapat seperangkat console game miliknya yang memang sengaja ia "titipkan" di rumah Jena. Tangannya mengutak-atik alat itu sebentar, kemudian melemparkan sebuah joystick ke arah Rigel yang ditangkap oleh pria itu dengan sigap.

Jena berdecak melihat perilaku mereka. Sebenarnya ini rumah siapa, sih? Sungguh kedua sahabatnya itu terlihat begitu home sweet home sekali hingga terkadang ia merasa rumah ini adalah rumah milik bersama.

Cat Fight  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang