24

109 8 2
                                    

Yang harus lebih dipikirkan, bukan siapa lagi yang bersalah, tetapi bagaimana cara menguraikan benang masalah.

🍫🍫🍫

"Hah?! Diusir dari rumah?" tanya Jinhyuk sembari membolakan matanya lebar-lebar.

Sejin balas menatap Jinhyuk, mengedipkan matanya beberapa kali. Memastikan hal yang barusan ia omongkan itu memang benar adanya. Kala Sejin mengunjungi Seungyoun di apartemen Seungwoo waktu itu, Seungyoun sendiri, kok, yang bilang kalau dia diusir dari rumahnya.

"Iya. Dia diusir, Hyung," Sejin mengulang kata demi kata dalam ucapannya secara perlahan.

Jinhyuk kaku. Badannya meregang bersamaan dengan kelopak netranya yang mengerjap berulang, berusaha membuat celah yang dapat memaksanya membantah semua cerita Sejin.

"Hyuk?" Wooseok menyentuh punggung tangan Jinhyuk pelan. Melihat gelagat Jinhyuk yang seperti ini, tentu Wooseok tahu ada sesuatu yang tidak pas pada tepatnya.

Jinhyuk kalap, ia berjalan cepat, meninggalkan Wooseok dan Sejin dengan menanggalkan fungsi seluruh indranya. Teriakan Wooseok, langkah kaki Sejin yang mendekat padanya, tak mampu menghadang tapakan tegas Jinhyuk.

Wooseok dan Sejin berpandangan. Wooseok juga merasa tidak ada yang salah, kok, dengan ucapan Sejin, kalau memang itu benar adanya.

"Aku salah ngomong, ya?" cicit Sejin. Raut bersalah terlihat pada wajah kecilnya.

"Enggak, Sejin. Udah tenang aja, ya. Jinhyuk hyung pasti tahu, kok, apa yang harus dia lakuin. Udah, ya, kita doain yang terbaik aja," balas Wooseok. Bibirnya melengkung naik, menyunggingkan senyum hangat untuk menenangkan remaja mungil di hadapannya.

***

"Seungyoun? Hey, Seungyoun? Di-- Astaga, Youn!"

Seungwoo berlari menghampiri Seungyoun yang terduduk di lantai sudut ruangan. Mantel bulu berwarna cokelat susu menutupi kaki panjangnya --tentu saja tidak sepenuhnya karena panjangnya kaki Seungyoun yang tidak dapat dijangkau seluruh mantel. Badannya bergetar, bibirnya putih selaras dengan air muka yang begitu pucat. Seungwoo sungguh tidak tahu apa yang terjadi pada malaikat penolongnya ini.

"Hey, kamu kenapa? Astaga, kenapa tangan kamu dingin banget, hei Seungyoun? Ayo, naik ke kasur, Hyung bantu," cecar Seungwoo cepat. Ia kelewat panik melihat keadaan Seungyoun yang sama sekali tidak bisa dikatakan baik.

"A-aku nggak pa--"

Seungwoo mengangkat tubuh Seungyoun perlahan, melupakan mantel cokelat yang kini terjatuh tanpa atensi di lantai.

Seungwoo membaringkan tubuh Seungyoun di atas ranjang, tak lupa menyelimutinya. Melihat gerak Seungyoun yang terus saja gelisah, Seungwoo menyatukan kedua tangan Seungyoun dan menggenggamnya pada tangannya sendiri. Tangan Seungwoo yang lain mengelus perlahan dahi Seungyoun yang terasa hangat.

'Apa karena Byungchan?'

Han Seungwoo bodoh. Daripada memikirkan penyebabnya bukannya kau lebih baik mengompres teman dalam kesepian-mu itu terlebih dahulu?

'Tapi aku hanya mengobrol dengan Byungchan, bukan apa-apa dan aku yakin Seungyoun tidak dengar'

Iya, lanjutkan saja pikiran tidak bergunamu itu, Han Seungwoo.

Seperti mendapatkan kembali kejernihan akal, Seungwoo bergerak menuju dapur. Mengambil air hangat dan membawakan handuk kecil untuk Seungyoun.

Ia mulai mengompres Seungyoun sembari melontarkan monolog-monolog retoris yang seharusnya tak butuh juga ia tanyakan.

***

Jinhyuk membuka pintu rumahnya kasar. Persetan dengan pegangan pintu yang mungkin rusak, atau tembok rumah yang mungkin tergores. Ia kepalang tidak peduli.

"Appa, Eomma!" teriakan beratnya menggema pada seisi rumah.

Eomma berlari tergopoh dari arah dapur, sedangkan Appa membuka pintu kamarnya, menengok ada keributan apa di luar.

"Kenapa teriak-teriak begitu, Nak?"

"Siapa yang usir Seungyoun dari rumah?" tanya Jinhyuk tepat pada sasarannya. Sudah tidak perlu lagi ia berlama-lama memastikan apakah Seungyoun benar diusir dari rumahnya, toh memang tidak ada sangkalan apa pun yang mampu mencegah pertanyaannya. Nyatanya Jinhyuk sendiri pun tidak sepenuhnya percaya pada orang tuanya.

"Adeul....

"Appa bisa jelaskan, adeul. Duduklah."

Jinhyuk kepalang naik pitam. Persetan dengan seluruhnya. Adiknya diusir dan dilepaskan kepada orang yang bahkan orang tuanya tidak pernah mengenalnya, dirinya yang dibohongi bulat-bulat, dan reaksi appa dan eomma yang di luar ekspektasinya, sungguh membuat Jinhyuk murka.

Ia gagal. Ia telah jatuh gagal sebagai kakak. Andai saja, ia dahulu ketika mereka kecil, ia tak terus-terusan menyuruh Seungyoun belajar, mengurung Seungyoun di kamar ketika minggu ujian tiba, bekerja di luar negeri untuk membuktikan hasil kerja kerasnya kepada sang adik. Semuanya tidak akan sekacau ini.

Jinhyuk seharusnya bisa membiarkan adiknya berkembang sendiri, sesuai kemampuannya, selaras minatnya, sejalan talentanya. Seharusnya Jinhyuk tidak perlu memenjara adiknya ketika minggu ujian karena yang dibutuhkan adiknya hanyalah ketenangan dan bimbingan darinya, bukan pemaksaan dengan sebuah pucuk.

Pun, ketika Jinhyuk menyadari terdapat berbagai kekeliruan pada cara didik keluarganya, semuanya sudah terlambat. Seungyoun sudah tidak sepatuh dahulunya. Akan tetapi, Jinhyuk tidak pernah marah, ia paham betul bahwa semua ini adalah luapan rasa kecewa yang Seungyoun kubur dalam sejak kecil.

"Appa dan Eomma kenapa tega banget ke Seungyoun? Dia adikku, anak kalian!" bentak Jinhyuk frustasi.

"Dia bukan anak kami dan bukan adikmu, Jinhyuk!"

To Be Continue

Maaf bangett baru updatee, enjoy guys!🌹💘
bitiwi cerita ini uda mau selesaii xixi!

Always In My SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang