—————
“Lo tahu gak, dari sekian banyak orang cacat lo yang gue pilih buat jadi temen gue—ah enggak, temen terlalu bagus buat lo, kayaknya lo cocok dipanggil babu.”
“Terserah lo,” balas Solyn.
“Lo gak bisa gituin gue,” katanya, Solyn menatap bingung, maunya apa, sih?!
Sosok tinggi dengan rambut yang disugar ke belakang di bagian kanan, sementara bagian kirinya dibiarkan menutupi sebagian dahi—menyeringai tipis ke arahnya lantas mengeluarkan sesuatu dari dalam jaket yang dia kenakan. Rokok serta pemantik api.
“Lo gak boleh ngerokok,” ujar Solyn cepat. Menatap pemantik api serta kotak rokok yang berada di tangan laki-laki tersebut.
“Siapa yang ngelarang?” tanyanya, memainkan tutup pemantik api dengan tangannya.
“Nyokap lo,”
“Persetan,” gumamnya.
“Jangan ngerokok,” ujar Solyn lagi.
Tapi laki-laki di depannya tidak menurutinya, justru menaruh sebatang rokok di antara belah bibirnya, kemudian menyalakan api di ujungnya. Solyn terpaku, tidak bisa berkata apapun lagi selain menatap dengan diam.
Pada akhirnya Solyn memilih beranjak, berniat meninggalkan laki-laki yang bergelut dengan sebatang nikotin dan dikelilingi oleh asap yang mungkin menjadi pengganti dirinya.
“Kenapa lo gak mau jadi milik gue, Solyn?”
Pertanyaan itu membuat langkahnya terhenti, pertanyaan yang kesekian kali dan berkali-kali juga membuatnya tersenyum miris. Tanpa menoleh, Solyn tetap melanjutkan langkahnya, meraih gagang pintu namun sebelum itu dia berhenti dan menarik nafas sebelum mengeluarkannya kembali.
“Because we're on the same family card now,” ujarnya, lantas keluar dari ruangan tersebut.
—————