Setengah kesal, Jay menatap Egil yang berjalan menghampirinya, lantas masuk ke dalam mobil.
“Lo ada-ada aja sih, njrit. Pake mogok segala, lo mau ke mana sih emangnya?”
“Sensi amat, pak. Biasanya juga biasa aja lo kalo gue kayak gini,” dengus Egil, sambil mengangkat alis heran. “tadi gue tuh lagi nganter pesenan pelanggan kakak gue, di daerah sini. Eh tiba-tiba mogok lagi mobil gue.”
Jay hanya memutar bola matanya malas, lalu menyalakan mesin mobil dan melaju ke jalanan. Laki-laki itu melirik ke spion lalu menghela nafas, di otaknya kini penuh dengan Solyn.
“Lo tahu gak sih, gue tuh lagi makan tadinya sama Solyn.”
“Eh, seriusan?!” tanya Egil kaget. “Kok lo gak bilang, njing. Trus gimana?”
“Langsung pulang pas lo nelpon,” balas Jay kesal.
“Sorry kalo gitu, lagian lo gak bales-bales chat gue. Kalo lo bales dulu kan bisa lo tolak, gue tinggal telpon yang lain.”
Jay menghela nafas, “ya udahlah.”
“Lo makin deket aja nih, bagus dong.”
Jay berdehem menyahut. Bagus atau tidaknya, Jay masih belum tahu. Tapi ya Solyn cukup membuatnya tertarik, terlepas dari gadis itu yang merupakan kenalan Daxter dulunya. Jay merasa mereka berdua ada sesuatu, Jay merasa kesal pada dirinya sendiri, kenapa dia baru tahu bahwa di sekolah ada makhluk bernama Solyn? Jay berdecak.
“Lo tahu darimana Solyn pernah deket sama Daxter? Kok gue gak tahu?” tanya Jay kemudian, Egil yang merasa ditanyai menolehkan kepala mengalihkan atensi dari gawai di tangannya.
“Oh? Oh itu, dulu sih—gak dulu-dulu banget sih, pernah liat Solyn di mobilnya Daxter, dua kali kalo gak salah. Pernah juga lihat mereka lagi makan di resto,” jelasnya, “waktu itu lo kan masih pacaran sama cewek lain.”
Jay mengangguk mengerti, menggigit bibir bawahnya sambil berpikir. “lalu kenapa sekarang kayak jauh-jauhan?”
Egil berdecak. “Ya lo pikir aja sih, lo aja sama mantan lo gak deket lagi. Alig kali lo.”
“Iya gue tahu, tapi lo ngerasa apa gitu, lo baca gak sih terakhir kali gue bahas Solyn di grup chat, Daxter sinis banget?”
“Oh iya juga ya,” Egil jadi ikut mikir.
Lagi-lagi Jay menghela nafas, kayaknya gue yang perlu nanya sendiri ke Daxter.
—————
Solyn membuka matanya, terasa sedikit perih karena terakhir kali dia menangis sebelum jatuh tertidur. Kemudian melihat jam dinding, pukul empat pagi. Matanya bergeser melihat Daxter yang tidur di sebelahnya hanya memakai celana sementara tshirt yang dipakainya terlempar ke lantai.
Solyn bersyukur Daxter tidak melakukan apapun padanya, selain ciuman kasar dan setelahnya Daxter jatuh pingsan di atas tubuh Solyn.
Tidak beranjak sama sekali, Solyn mengubah posisi tidurnya miring, menghadap Daxter yang tidur terlungkup.
Solyn mengelus dahi laki-laki itu, menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya yang damai. Gue kangen lo, Dax.
Solyn menggigit bibirnya, air matanya kembali melesak keluar dan dia terisak.
Life is never fair to me, to you, us.
Solyn akhirnya tertidur lagi, ketika dia bangun Daxter sudah tidak ada lagi di kamarnya entah kapan dia keluar. Ketika dia turun, di meja makan. Laki-laki itu duduk di meja makan, beradu cakap dengan lelaki setengah baya yang kini menjadi ayahnya—Papa Solyn. Sementara Nyokap Daxter dan Jeanne memang tidak ada di sini sejak semalam.
Solyn tidak langsung duduk di sana, gadis itu menunggu Papa mendongakkan kepala padanya.
“Solyn... duduk, sayang.”
Solyn tersenyum, menarik nafas pelan. “Pah, aku boleh pindah ke apartemen?”
Bisa Solyn rasakan, Daxter tidak lagi menggerakan alat makan di tangannya—begitupun Papa yang mengangkat alisnya terheran.
“Kenapa?” tanya Papa.
————
Malam ini update lagi, votenya 100 ya part ini, okay? Bisa gak? bisa dong ☺