——————
“Jeanne, Kakak Lyn masih ngantuk,” ujar Solyn lirih, begitu merasa wajahnya terus dicium. Mengira adiknya mencium wajahnya, kebiasaan itu dilakukan oleh Jeanne ketika dia tidur dan Jeanne mengajaknya bermain setelahnya.
Tidak ada respon, karena sebenarnya Solyn baru sadar bahwa dia tidak memakai alat pendengar miliknya, namun kecupan itu masih dia rasakan hingga ke hidungnya, lantas terus turun dan sebelum itu—solyn membuka mata. Terkejut dan memundurkan wajahnya, ketika bukan Jeanne yang berada di atas kasurnya, melainkan laki-laki yang merupakan kakak kandung Jeanne.
Hai
Laki-laki itu berucap, tidak bisa Solyn dengar tapi dia bisa membaca gerak bibirnya.
“Lo ngapain di kamar gue?” tanya Solyn, sebelum beranjak duduk dan mengambil alat pendengar lantas memasangnya ke telinga.
Laki-laki itu tersenyum, membuat Solyn menghela nafas dan melihat jam di kamarnya. Pukul 05.45 am. Masih terlalu pagi untuk bangun.
“Can you gimme smile?”
Solyn tidak melakukannya, apa yang diminta laki-laki itu.
“Lo gak boleh ngelakuin itu lagi, siapa aja bisa liat termasuk Nyokap lo,” ujar Solyn, mengatakan hal lain.
Tatapan laki-laki tersebut berubah malas, dan wajahnya kembali datar, dia duduk tegap di kasur Solyn.
“Gue capek,” lirihnya, menatap Solyn dalam. “Can we tell the truth?”
“Gak ada yang perlu kita omongin, gue mohon.” Solyn menggeleng.
Laki-laki itu mengangguk. “Lo baru aja bangun, harusnya lo berdoa, ’kan? Gue udah berdo’a tadi, mau denger doa gue?”
“....”
“Gue berharap, Nyokap gue dan Bokap lo cerai.”
“Gue sebaliknya, gue berharap mereka menua bersama.”
Tidak ada jawaban dari laki-laki di depannya, hanya tatapan tajam dan rahang mengeras.
“Kita cukup jadi adik-kakak, atau jadi temen. Selebihnya, gue gak mau dan gak bisa.” Solyn berkata lirih, melihat jendela kamarnya yang masih tertutup rapat.
“i hate you,” balas laki-laki itu.
“Gue tahu.”
“i really hate you.”
“yeah, i know, Daxter.”
——————