Sepertinya tidak ada objek lain yang dapat mengalihkan pandangan Jeno. Selama Haechan memasak yang Jeno lakukan hanya lah menatapnya dengan lekat, bahkan Jeno menghiraukan rasa pegal pada kakinya karena terus berdiri.
Sangat indah, itulah yang Jeno pikirkan. Haechan adalah seorang ibu satu anak berusia tigapuluh tahun yang masih terlihat seperti gadis remaja SMA. "Menakjubkan." Pujinya dengan terus menatap Haechan dari atas kepala hingga ujung kakinya.
"Bahkan aku masih merasakannya." Gumam nya dengan tersenyum seperti orang gila.
Haechan yang risih pun menoleh dan menatap Jeno dengan memincangkan matanya. "Merasakan apa?."
"Eoh, tidak. Maksudku makanan nya, rasanya enak."
"Bahkan masakannya pun belum matang. Jadi makanan mana yang enak." Tanya Haechan dengan curiga, pasti Jeno sedang memikirkan hal yang tidak-tidak tentang dirinya. Laki-laki tua menyebalkan.
"Tapi yang ini-awww, panas." Erang Jeno saat dia dengan sengaja malah memegang panci panas, sepertinya Jeno tidak tau bahwa Haechan sedang memasak sup dipanci itu. Jeno pun mengibaskan tangannya karena panas dan perih. Ternyata cinta bisa membuat seseorang lupa dengan sekitar.
"Yaampun Jeno, kenapa kau memegang panci nya."
"Awww sakit Chan." Mendengar rintihan Jeno membuat Haechan panik dan berlari ke arah kamarnya untuk mengambil kotak obat.
Setelah menemukan kotak obatnya Haechan pun langsung mengobati luka Jeno dengan mengoleskan salep pada tangan Jeno dengan perlahan, karena Jeno terus meringis saat di obati jadi Haechan berusaha meredakan rasa sakit nya dengan cara meniup tangan Jeno.
Sementara Jeno yang kesenangan terlihat tersenyum lebar dengan memandang ke arah Haechan yang terlihat sibuk mengobati lukanya. Haechan benar-benar sosok seorang malaikat. Tanpa di sadari oleh Jeno jika dia malah memegang panci itu lagi dengan tangan kirinya, niatnya untuk bersender ke pantry dapur tetapi karena terlalu pokus pada Haechan jadinya dia malah memegang pancinya lagi. "Awww."
Haechan pun menoleh. "Kenapa lagi." Dengan senyum bodohnya Jeno malah memperlihatkan telapak tangan kirinya pada Haechan yang mana telapak tangannya terlihat memerah sama seperti telapak tangan kanannya.
"Lagi!." Seru Haechan, sementara Jeno hanya menggeleng pelan. "Kenapa kau ini ceroboh sekali seperti Jisung." Dumal Haechan dengan mengobati luka Jeno di tangan kirinya.
"Karena dia putraku." Jawab nya dengan santai.
Haechan berdecak tidak suka. "Aku tidak mengerti kenapa kau benar-benar sama dengan Jisung, jika sedang diberi tahu pasti saja menjawab."
"Karena dia putraku."
"Lihatlah, bahkan kau menjawab lagi. Sekarang aku tau darimana sikap menyebalkan putraku berasal." Haechan terus saja mengomel selama mengobati luka Jeno.
Jeno hanya bisa menghela nafas pelan. "Sudah ku bilang karena dia putraku."
"Kau pikir dia hanya putramu apa. Hingga dia harus mewarisi semua kepribadian mu, sementara aku apa yang menurun dariku, bahkan dia payah untuk seorang laki-laki." Susah memang kalau sudah mendengar Haechan mengomel seperti ini, bahkan Jisung saja menyerah mendengar ibunya terus mengomel. Haechan itu jika terus berbicara maka akan sangat sulit untuk berhenti, kecuali ada yang menghentikan nya.
Sedangkan Jeno hanya terkekeh melihat dumalan Haechan itu, soalnya Haechan itu berbeda dari ibu-ibu yang lain, karena dia masih terlihat menggemaskan saat mengomel. Ah rasanya Jeno, ingin cepat-cepat menikahi Haechan, dan mengurung nya sepanjang hari di kamar. "Payah? Bagian mana yang kau sebut payah, aku saja kewalahan saat menerima pukulan darinya." Mendengar perkataan Jeno membuat Haechan mendongakkan kepalanya.