invisible wounds : 14

2.3K 355 58
                                    

Ayah dan anak itu terlihat sedang berada diruangan yang sama, hanya berdua.

Sedangkan Haechan dia terlihat gelisah di ruang tamu. Berdoa pada Tuhan agar putranya merubah pikirannya, dan menerima Jeno.

Jisung menatap ke arah Jeno dengan tatapan datar, tidak ada tanda-tanda jika dia akan menerima kehadiran Jeno sebagai ayahnya.

"Katakan, apa yang ingin kau bicarakan dengan ku."

"Tentang hubungan darah yang telah putus sejak lima belas tahun yang lalu."

"Sampai kapan kau akan tetap berpikir seperti itu, setidaknya dengarkan penjelasanku."

"Aku mau mendengarkan penjelasan mu, tetapi apapun itu aku tetap tidak akan memaafkan mu."

Jeno benar-benar tidak habis pikir dengan pola pikir Jisung. Benar-benar mirip seperti dirinya. Kenapa dia mewarisi watak buruk pada putranya, kenapa tidak watak Haechan saja. Jika seperti ini Jeno seperti sedang berdebat dengan dirinya sendiri.

Seperti yang kalian tau berdebat dengan diri sendiri adalah hal yang paling sulit.

"Jisung, aku kembali karena aku menyesal."

"Setelah lima belas tahun, dan kau baru kembali. Dari mana saja dirimu selama ini. Kau tau Mommy banting tulang hanya untuk menghidupi ku, perempuan sepertinya yang seharusnya duduk manis dirumah harus terpaksa bekerja keras untuk menghidupi putranya seorang diri."

"Sampai pada titik dimana kehidupan kami menjadi lebih baik, dan kau baru kembali." Lanjut Jisung. Berbicara dengan Jeno benar-benar membuat nya tidak bisa menahan amarah.

Membayangkan betapa malang nya nasib dirinya yang hanya dihidupi oleh ibunya. Melewati berbagai situasi, dihina, dicacimaki dan dikucilkan tanpa ada yang mau menolong. Itulah yang membuat amarah dan perasaan nya membuncah kembali.

"Aku mencari ibumu dari sembilan tahun yang lalu. Setelah lulus kuliah aku berusaha untuk kembali ke Seoul, mencari ibumu. Tetapi hasilnya nihil."

"Benarkah? Lalu bagaimana dengan wanita yang sangat kau gilai itu. Ternyata bukan hanya demi masa depan, kau juga pergi demi wanita lain. Menjijikkan."

Plak.

Untuk yang kedua kalinya Jeno menampar Jisung. Jisung memang putranya tetapi jika ucapannya menyakiti orang lain, maka Jeno harus memberikan sedikit pengertian dengan cara yang lebih keras. Menghadapi sikap Jisung yang sama persis seperti nya sedikit membuat Jeno mengerti cara menghadapi Jisung.

"Kau putraku, tetapi jika kau terus membangkang seperti ini aku tidak akan pernah diam. Apakah kau lebih percaya pada omongan orang lain daripada ayahmu sendiri."

"Apakah kau pantas ku sebut sebagai ayah, dan haruskah aku mempercayai orang asing seperti mu."

"Dan untuk yang kedua kalinya kau menamparku, apakah naluri seorang ayah pada putranya sudah menghilang." Lanjut Jisung.

Sebenarnya sampai kapan perdebatan antara ayah dan anak ini akan segera berakhir, jika keduanya sama-sama keras kepala dan tidak ada yang mengalah.

"Aku tidak akan berbuat kasar jika kau mau mengerti sedikit saja. Kau hanya perlu mendengar kan pejelasannya dengan tenang. Aku rasa ibumu mengajarkan tentang bagaimana cara menghormati orang yang lebih tua darimu, jangan membuat kerja keras ibumu menjadi sia-sia." Jeno benar-benar geram, kenapa Jisung yang dikenalnya menjadi keras kepala seperti ini. Apa susahnya untuk duduk dengan tenang dan mendengarkan semua penjelasan Jeno. Semuanya akan selesai bukan, kecuali jika Jisung ingin tetap mempertahankan kebenciannya.

"Duduk dan dengarkan penjelasanku." Lanjutnya memerintah kan Jisung, kepala nya tidak bisa lagi berfikir dengan dingin. Jisung benar-benar membuat Jeno emosi sampai ke ubun-ubun.

Invisible Wounds [Nohyuck Gs]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang