[5] - Raka Berulah

1.1K 255 19
                                    

Radit menggulung lengan kemejanya sampai sebatas siku. Pria itu merenggangkan kedua tangannya keatas sembari bernapas lega. Pekerjaannya hari ini selesai dengan cepat dan tanpa hambatan. Radit bersyukur atas hal tersebut.

Tak lama kemudian, ponsel di mejanya berdering. Tertera nama "Ayah" di layar.

"Halo, Yah?"

"Halo, Le. Si Raka ada di rumah ayah, yo. Kali aja kamu belum di kasih tau adikmu," ujar sang ayah dengan logat Jawa-nya yang khas.

"Lho, Gio kemana memangnya?" tanya Radit penasaran. 

Pasalnya sang adik tidak mengatakan apapun mengenai jadwalnya hari ini. Biasanya Gio akan memberitahunya jika ada keperluan. Tidak salah jika Radit mengira adiknya sedang free.

"Adikmu dapet telepon mendadak. Katanya ada pemotretan yang harus diulangi. Mboh, ayah gak paham piye." (Gak tau, ayah gak paham gimana)

"Oalah. Ya sudah, Radit titip Raka sebentar ya. Radit masih harus ke rumah temen. Masih ada yang harus di bahas."

Radit kemudian berdiri dan mengambil jas hitam miliknya yang tersampir di kursi kerjanya. Ponsel masih menempel di telinga kanan Radit.

"Ajak'en ae si Raka. Ayah habis ini mau main badminton sama bapak-bapak yang lain."

Perkataan sang ayah terasa geli di telinganya. "Masih bisa main? Pinggang ayah aman?"

"Lho, lakok ngenyek bocah iki! Ayah masih kuat kok!" (Lho, kok menghina anak ini!)

Radit tertawa puas. "Ya sudah, Radit kesana jemput Raka ya. Anaknya tidur nggak, Yah?"

"Ndak. Lagi rebahan di kursi ruang tengah. Cepetan kesini! Ayah sudah ditunggu sama bapak-bapak yang lain."

Sambungan ponselnya diputus sepihak oleh sang ayah. Radit menggelengkan kepala. Ayah dan olahraga bulutangkis memang tidak bisa di pisahkan.

Sang ayah adalah mantan atlet bulutangkis nasional. Piala dan medalinya pada saat masih aktif berjejer rapi di rumahnya.

Sang ayah sempat berharap salah satu dari putranya mampu menjadi atlet bulutangkis sepertinya. Namun sayang, Radit lebih menyukai bisnis, sedangkan Gio lebih menyukai fotografi.

Untung saja ayahnya bukan tipe pemaksa. Beliau selalu membebaskan kedua anaknya untuk berkarya di bidang yang disenangi.

Namun sepertinya, bakat bulutangkis sang ayah menurun kepada Raka. Radit ingat, bagaimana antusiasnya sang anak ketika kakeknya menunjukkan medali beserta piala yang pernah diraihnya.

Sejak saat itu, Raka selalu dibimbing dan dilatih secara pribadi oleh sang kakek di rumahnya.

Radit tidak tahu apakah memang sang anak ingin menjadi atlet. Namun jika Raka ingin, Radit pasti mendukungnya.

Apapun untuk kebahagiaan Raka.

Jarak kantor dengan rumah sang ayah memang tidak jauh. Hanya butuh waktu 15 menit saja untuk sampai ke rumah sang ayah. Radit tersenyum ketika turun mendapati sang anak tengah berlari menyambutnya seperti biasa.

"Yayah!"

Radit menggendongnya. "Hai jagoan! Lagi ngapain?"

"Tadi Laka cuman males-malesan nonton kaltun aja."

"Kakek mana?"

"Lagi ambil tas laket. Mau main bulutangkis katanya."

Tak lama kemudian, sang ayah muncul sembari menenteng tas raket hadiah dari Gio tahun lalu.

The UnseenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang