• DWI DWIDASA - Tak Disangka •

32 6 3
                                        

DWI DWIDASA - DUA PULUH DUA
« Tak Disangka »

~~~

Selamat Membaca!!!

🎭🎭🎭

Hidup segan, mati pun tak mau.

Entahlah, apakah kalimat tersebut cukup sinkron atau tidak dengan kondisi Fernando saat ini. Berangkat sekolah di pagi hari seharusnya diiringi oleh semangat yang membara. Namun, pemuda berambut gelombang itu justru diam saja sejak tadi. Kejadian semalam cukup membuat mood-nya sangat hancur.

Bagaimana tidak? Ia harus menerima kenyataan bahwa sang Papa tidak bisa berjalan dengan sempurna seperti sebelumnya. Meski bukan permanen, tetapi tetap saja kenyataan tersebut memukul telak batin lelaki itu.

Dengan langkah gontai, Fernando berjalan menuju kelas. Namun, baru saja sampai di persimpangan lorong, netra tajam pemuda itu tak sengaja menangkap beberapa gadis yang tampak bergerombol, bahkan mulai terdengar suara teriakan yang tidak jelas. Perkiraan Nando, gerombolan itu sepertinya tepat di depan kelas XI MIPA 4. Akhirnya, lelaki berambut gelombang tersebut kian memacu kecepatan melangkah.

Akan tetapi, belum sampai tujuan, seorang gadis di gerombolan itu yang awalnya membelakangi Nando kini bergeser ke arah kanan, sehingga ia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di sana. Netra kecokelatan itu sontak terbeliak, nyaris tak memercayai dengan sesuatu yang ia lihat saat ini.

"Sombong! Sok pinter kamu, ya! Aku suruh kamu ngerjakan tugasku tapi kamu nolak."

Ranita yang tampak tersungkur di lantai lorong tersebut pun hanya menunduk dalam. Seharusnya ia tau bahwa ini adalah akibat jika dirinya berontak dengan penindasan gadis yang ada di hadapannya. Dan memang seharusnya ia datang nyaris terlambat ke sekolah saja daripada berangkat sepagi ini agar tak dirundung. Namun, sejak Fernando mengajaknya berbicara kemarin, entah mengapa keberanian itu kian meningkat. Masalah sebaiknya dihadapi, bukan dihindari. Karena masalah itu tak akan selesai jika penyebabnya belum hilang.

"Maaf, Ta. Tapi, kamu-"

"Kamu berani bantah, hah?" Arista yang tengah dikuasai dengan kemurkaan yang bercokol dalam hati, tanpa perasaan langsung melempar buku paket di genggamannya ke arah kepala Ranita. Kontan saja gadis pendiam itu meringis kesakitan. Arista mengira bahwa para guru tidak mungkin melewati lorong sekolah pagi-pagi saat ini. Jadi, dia merasa bebas untuk menyakiti Ranita.

Namun, ia tidak menyadari bahwa ada sepasang netra tajam yang mulai mengintimidasi dirinya dari jauh.

Seolah belum puas telah melempari Ranita dengan buku, Arista mulai melangkah mendekat dan berjongkok tepat di hadapan gadis berambut lurus yang terikat itu. Dengan cepat, tangan Arista langsung menggenggam ikatan rambut panjang milik Ranita hingga sang pemilik surai meringis kesakitan.

"Mentang-mentang kamu deket sama Na-"

"Arista!"

Jemari lentik gadis berambut gelombang itu yang menggenggam erat surai Ranita kian mengendur saat terdengar suara bariton yang menginterupsi. Saat menoleh ke arah kiri, netra cokelatnya terbeliak lebar ketika menyadari siapa yang baru saja menegurnya.

Di sisi lain, Fernando melangkah cepat ke arah mereka, hingga membuat beberapa orang yang bergerombol tadi mulai menepi, menyisakan dua gadis dengan perasaan yang kontras saat ini. Ranita mulai merasa lega, sedangkan Arista kian bergetar hebat. Karena terlalu dendam dan emosi dengan Ranita, gadis itu sampai tak memedulikan sekitar serta resiko yang akan ia hadapi jika merundung korban kesayangannya ini secara terang-terangan.

Tabir FaktaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang