Pagi itu seperti pagi-pagi biasanya, Jehan sudah sibuk di dapur membantu mama menyiapkan sarapan. Hari ini menunya adalah ayam goreng ala-ala KFC sesuai permintaan Dika kemarin malam. Mama juga memasak sayuran untuk menunjang gizi keluarganya yang lebih baik.
Di saat Jehan sedang sibuk membolak-balikkan ayam dari tepung basah kemudian ke tepung kering, Dika tiba-tiba muncul dan memeluk mama dari belakang. Sambil mengendus-endus di balik punggung mama dengan mata terpejam, bocah itu mengerang kecil ketika Jehan mengacak rambutnya.
"Cuci muka dulu, dek. Biar gak ngantuk." kata mama sambil melakukan aktivitasnya merasa tidak terganggu. Namun, sayangnya Dika tak menyahut. Bocah itu justru berbalik dan pergi ke arah meja makan. Lalu dalam sekejap, menjatuhkan wajahnya ke atas meja dan kembali terlelap.
Jehan bergeming sambil menggeleng-gelengkan kepala, terheran dengan Dika yang hobi bangun pagi-pagi ke meja makan, tapi hanya untuk kembali tidur. Beda lagi dengan Habibie, anak sulung itu bisa saja bergelung di atas kasur sampai hari kembali pagi. Cowok itu jika sudah tidur benar-benar pulas, seperti putri tidur. Jadi tak heran, jika sudah waktunya shalat subuh, maka Jehan atau Dika lah yang bertugas membangunkannya.
"Ma, yang dua ini udah mateng kan?" tanya Jehan. Menunjuk dua ayam yang sudah berwarna kecoklatan di penggorengan bergantian. Mama sesaat menoleh, lalu mengangguk. Membuat Jehan segera mengangkat ayam itu, lalu memindahkannya ke mangkuk tirisan minyak.
"Sisa berapa lagi, bang?" tanya mama dengan fokus masih pada sayuran yang sedang dimasaknya.
Jehan menoleh pada wadah di dekatnya, kemudian menghitung ayam mentah itu dengan capitan goreng yang berada digenggamannya,"Tinggal tiga lagi, ma."
"Yaudah sisanya mama aja lanjutin. Kamu mandi aja gih, " kata mama sambil mengambil alih alat masak dari tangan Jehan. Jehan menurut saja. Cowok itu segera berbalik badan, namun tidak langsung beranjak menuju kamar mengambil handuknya. Ia berdiam diri sejenak di depan Dika yang tertidur pulas. Lalu, menoel-noel lengan yang telah dijadikan adiknya itu sebagai bantal.
"Bangun oii," kata Jehan. Sama seperti tadi, Dika tak menyahut. "Dika, " sekali lagi Jehan membangunkannya, tapi yang ia dapat malah Dika yang merubah posisi tidur menjadi lebih nyaman lagi sambil bergumam tak jelas.
"Ck, yaudahlah." Pada akhirnya ia pasrah, langsung membalikkan badan pergi begitu saja.
Dan ruang makan serta dapur yang letaknya berdekatan kembali disergap kesunyian. Hanya ada suara oseng-oseng, suara penggorengan, suara nyaring piring-piring yang bersentuhan, dan suara air, imbas kegiatan memasak mama di dapur, serta ditambah dengan suara dengkuran samar yang diciptakan oleh Dika yang tengah tertidur. Meskipun sunyi, tapi setidaknya dapat menggambarkan bahwa keluarga ini sudah hidup di pagi hari.
Berbeda dengan kebisuan yang terjadi di dalam rumah, Pak Dal - ayah dari Habibie, Dika, dan Jehan; dan suami tercintanya ibu Ana- pria berumur 50 tahun yang berkumis tipis karena habis mencukur kumisnya kemarin pagi, kini sedang asik membaca laman berita pada ponselnya sambil menyesap kopi panas di teras rumah. Suara kicauan burung, suara daun-daun yang tertiup angin, serta sesekali suara mesin kendaraan bermotor yang lewat pun membuat suasana di pagi hari semakin syahdu.
Ayah mengernyitkan dahi, membaca tulisan yang ada pada ponselnya dengan serius.
"Bakal hujan lagi loh?" gumamnya sesaat refleks mendongak untuk memandang langit, "Peringatan dini BMKG, 21 wilayah diguyur hujan lebat disertai angin saat sore hari." katanya membaca headline berita yang sudah dirilis kemarin malam. "Kemarin baru aja terik banget matahirnya, mendadak hujan lagi gini masa ya. Cuaca bener-bener gak bisa ditebak."
Lalu, pria tua itu kembali mengambil secangkir kopi buatan istrinya, meminumnya sedikit-dikit sambil menikmati. Kalau dipikir-pikir, memang benar kata orang-orang di luar sana, kopi buatan istri adalah kopi ternikmat yang pernah ada di dunia ini. Ayah begitu saja tersenyum, sambil meletakkan ponselnya - berhenti membaca karena matanya yang mudah sakit jika telalu lama melihat layar ponsel. Ayah menegakkan punggung pada sandaran bangku dan mendongak pada langit pagi yang masih cerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Hujan Turun
Fanfiction"Saat Hujan Turun" mengisahkan kehidupan klasik sehari-hari pemuda bernama Habibie Chandra bersama keluarga, teman, dan kekasihnya. Semuanya terasa begitu indah untuk Habibie yang menjalankan kehidupan yang sederhana, tapi tidak sampai akhirnya pemu...