04 - Rahasia dan Tiket Bioskop

46 7 0
                                    

Selepas mengantar Rachel ke Fakultas Ekonomi dan menghadiri kelas pagi mata kuliah Statistika Industri, Habibie melangkahkan kakinya ke lapangan besar sebelah masjid Fakultas Teknik. Cowok itu memilih meluangkan waktu kosongnya sembari menunggu kelas sorenya untuk membantu memasang banner di depan gerbang dan membangun beberapa stand untuk acara bazar murah yang akan diadakan besok, hari sabtu.

"Gimana? udah selesai lu pasang?" Jevan yang telah bercucur keringat datang, menghampiri Habibie yang tak kalah banjir keringat, bahkan rambutnya sudah basah seperti baru keramas. Nafasnya memburu karena dari tadi ia bolak-balik mengambil barang-barang yang dibutuhkan. Siang ini berbeda dari kemarin, matahari yang mengeluarkan teriknya itu kini benar-benar berada tepat di atas kepala.

Habibie sesaat mengelap wajah basahnya dengan lengan bajunya. Cowok itu mengangguk, "Udah. Tapi tadi agak susah nentuin tempatnya biar keliatan, " lapornya dengan mata refleks menyipit. Karena saat ia menoleh, cahaya matahari secepat kilat menusuk matanya.

"Tapi udah dipasangkan?" tanya Jevan lagi. Dan hanya dibalas anggukan oleh Habibie.

"Itu anak-anak semuanya udah ngumpulin sembakonya?" Kini Habibie yang bertanya.

Jevan mengernyit sejenak, "Gak tau juga. Tadi gua nyuruh anak-anak yang belum sempet ngasih sembakonya kumpulin ke Karina di sekre. Kira-kira sepuluh menit yang lalu Karina chat gua bilang tinggal lima orang lagi yang belom ngumpul. Gak tau kalau sekarang." Jevan melemparkan pandangannya pada lapangan, memastikan semua stand sudah berdiri dengan baik bersama printilan-printilannya.

"Oh iya! Print-annya belom dibikin. Bi, lu sama Yanto ke tukang fotokopi gih. Suruh bikin tulisan nama masing-masing sembako. Terus laminating sekalian." perintah Jevan sambil mengeluarkan dompet dan mengambil selembar uang lima puluh ribu.

"Fotokopiannya mah biasanya kagak nerima ngetik, " sanggah Habibie

"Iya, tapi kalo tulisannya sedikit mah mau-mau aja mbaknya. Bilang aja tulisannya cuma dikit. Kan cuma tulisan beras, gula pasir, minyak, sama yang lainnya." kata Jevan sambil menyodorkan uang itu pada Habibie.

"Yanto dimana?" tanya Habibie sembari mengantongi uang yang diberikan Jevan.

"Tuh di masjid. Tadi bilang mau shalat. Tapi abis itu tu bocah kayaknya langsung rebahan, ngadem. Kagak balik-balik dari tadi. " kata Jevan mendengus. Habibie lantas menoleh ke masjid dan manggut-manggut saat matanya menangkap Yanto sedang goleran di lantai sambil menatap hape.

"Yaudah gua ke sana yak," pamit Habibie melangkah pergi setelah menepuk bahu Jevan.

Habibie sebenarnya sekarang juga sangat ingin rebahan seperti yang sedang dilakukan Luthfi Yanto. Atau bersandar di dinding masjid sambil memejamkan mata seperti yang dilakukan Sofyan Taufik Roni saat ini. Tapi melihat bagaimana sahabat sekaligus tetangganya, Jevan - yang merupakan ketua dari acara ini - membuat Habibie urung. Ia merasa tak tega jika Jevan hanya bekerja keras sendirian, ia mau membantu dan mengurangi beban Jevan.

Memang, itu tekad awal yang ingin Habibie jaga setengah mati. Sampai akhirnya, badannya langsung terkulai jatuh begitu mendengar suara kipas angin masjid. Habibie menghela panjang setelah merebahkan diri ke lantai dengan tangan membentang dan kaki terbuka lebar-lebar.

"Capekkk!!" teriaknya begitu saja. Untung saja saat ini masjid sepi. Tidak ada orang kecuali dirinya, Taufik, dan Yanto yang sudah tertawa terbahak-bahak entah sedang menonton apa. Yang pasti, Habibie bisa mendengar suara orang berbicara yang keluar dari hape cowok itu, tapi ia tidak tahu bahasa apa itu.

"Nonton apaan lu, Nto. Bahasanya kumur-kumur gitu?"

Yanto dengan begitu saja menolehkan kepala. "Drakor"

Saat Hujan TurunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang