03 - Memori Berkenalan

52 10 0
                                    


"Ih, Ayah! Aku gak suka tomat," protes Dika pada ayahnya yang baru saja menaruh tiga buah potongan tomat ke piringnya.

"Dimakan dong dek sayurannya, biar sehat tuh kayak abang. Lagian juga mama kamu udah taro tomatnya di piring malah kamu pindahin," titah Ayahnya setelah menyuap sesendok penuh nasi goreng.

"Aku kan gak suka, Yah. Gak enak!" kata Dika kembali membawa potongan tomat-tomat itu ke piring lain.

"Loh? dipindahin lagi?" kata ayah melirik.

"Gak suka Ayahhhh," balas Dika membuat mamanya yang sedang mencuci piring menggelengkan kepala dan tertawa kecil. Memang, dari dulu Dika susah sekali disuruh makan sayur. Bahkan bayam yang menjadi sayuran favorit orang Indonesia pun Dika tetap tidak suka.

"Kamu tuh dibilangin gak mau. Lihat aja noh badannya sakit-sakitan mulu," celetuk Jehan yang duduk di sebelah Dika.

"Kalo gak suka tuh tetep gak suka. Mau dibilangin gimana pun aku gak pernah suka tomat." Dika menatap Jehan dengan sebal. Membuat abangnya itu menipiskan bibir dan melirik Dika, gemas ingin mencekoki tomat ke mulutnya.

"Paksain. Lama kelamaan juga suka kamu. Dulu bang Jehan gak suka timun, tapi abang paksain juga jadi suka sekarang," kata Jehan sambil meraih sendok makan. Tapi Dika hanya mencibir lalu dengan acuh menyantap sesuap nasi gorengnya.

Ayah hanya menghela pelan dan menggeleng-gelengkan kepala. Ia lantas meraih segelas air hendak meminumnya sampai matanya menangkap kursi di sebelah Dika yang masih kosong. Lantas ia meletakkan gelasnya kembali dan menoleh pada kamar Habibie sambil berteriak,

"Abi! Cepet keluar. Makan, entar telat kuliahnya. Ada kelas pagi kan?"

"Uwaw wangi sekaliiii."

Baru saja ayah bertitah, Habibie begitu saja muncul dan langsung berlari kegirangan ke meja makan setelah hidungnya berhasil mencium aroma nasi goreng buatan mama Ana yang telah menjadi makanan favoritnya sejak kecil.

Cup!

Setelah berhasil mengecup pipi Dika tanpa aba-aba, Habibie menarik kursinya dan cepat-cepat duduk. Ia meraih piring kemudian meraih mangkok besar yang berisi nasi goreng seolah tidak ada kejadian apa-apa barusan. Sementara Dika sudah memelototinya tajam, mengikuti setiap pergerakannya dengan ujung matanya yang semakin dilihat semakin runcing.

"Mah, makan Ma," kata Habibie sambil menyalin nasi goreng ke piringnya. Kemudian mengambil beberapa potongan tomat. Dan kemudian terdengar sahutan samar mama dari belakang.

"Ck!" decak Dika pada Habibie. Bocah itu hanya bisa pasrah sambil mengelap pipinya dengan tangan berkali-kali. Bukan hal yang aneh kalau kakaknya menciumnya seperti tadi, karena memang hampir setiap hari kakaknya melakukan hal itu padanya atau kadang pada abangnya.

Mama mengibas-ngibaskan tangannya yang basah. Sudah menyelesaikan cucian piring bekas memasak barusan. Lantas mama beranjak dari dapur dan bergabung di meja makan untuk sarapan pagi bersama.

Mama yang sedang menarik kursi mendadak berhenti saat pandangannya jatuh pada wajah letih Dika, "Dek kamu kantung matanya hitam gitu, kayak gak tidur semaleman," celetuk mama memandangi wajah anaknya kemudian duduk sambil meraih mangkuk nasi goreng.

Habibie lantas menyeringai. Dika itu kulitnya putih bersih jadi kalau ia begadang maka siapa saja dapat menyadarinya. Sementara Habibie memiliki kulit lebih gelap sehingga mata pandanya itu dapat tersamarkan. Dan Habibie merasa sangat bersyukur, karena dengan begitu selama ini mamanya tidak pernah menyadari bahwa dirinya sebenarnya jauh lebih sering begadang dibandingkan Dika.

Habibie melirik pada Dika yang sudah mendelik dan terkesiap bingung harus jawab apa. Laki-laki itu menggaruk kepalanya dan diam-diam melirik Habibie yang sudah tersenyum padanya seakan-akan senyumannya itu mengatakan 'Rahasia lo gue yang pegang!'.

Saat Hujan TurunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang