24. Son Of The Sun

428 40 14
                                    

JAKARTA

"Itu, sih, permasalahan yang ada sekarang ini, kayak orang-orang tuh sangat menjunjung tinggi agamanya, gitu. Tapi, disisi lain mereka justru lupa sama Tuhannya. Jadi, saat lo nyaman sama agama lo, kenapa lo mengusik orang lain? Please, lah, tanya sama diri lo lagi. Sebenernya, ilmu lo, tuh, udah cukup belom buat diri lo? Lo nyaman nggak sama agama lo?"

PP menjeda ucapannya sembari bersandar pada kursi.

Dia tengah berada di ruang auditorium bersama beberapa temannya. Mereka baru saja menyelesaikan kuliah umum dan lebih memilih untuk tinggal disana beberapa saat.

Lelaki itu sedari tadi menyibukkan diri dengan membaca buku, sedangkan teman-temannya mulai bercengkrama.

Lalu, merasa tertarik dengan salah satu bahasan yang tengah temannya bicarakan, tentang, 'orang-orang yang menganggap bahwa agama mereka adalah yang paling benar daripada agama lain'.

Salah satu topik hangat yang memang ramai diperbincangkan oleh orang akhir-akhir ini.

Lelaki itu meletakkan pembatas buku pada halaman terakhir yang dia baca.

Kemudian, kembali meneruskan kalimatnya,

"Kalau menurut pandangan gue pribadi, sih, orang-orang yang kayak gitu adalah orang yang sebenernya masih kurang paham sama diri mereka sendiri. Be---"

Kalimatnya terpotong setelah dering ponselnya terdengar.

***

Inikah tempat yang di maksut anak kuliahan itu?

Tembok kafe berwarna krem, dengan garis-garis tipis cokelat tua yang menghiasi. Ada papan bertuliskan 'Greenland' yang terbuat dari jati pipih. Jendela - jendela mungil dengan gorden keemasan yang diikat menyimpang.

Tay perlahan berjalan dan membuka pintu kafe. Terdengar sejenis lonceng dari kaca yang berbunyi dari atas kosen pintu, bersamaan dengan lagu Yellow milik Coldplay.

Seketika, semua pelayan membungkuk dan tersenyum.

"Selamat datang," sapa mereka.

Tay mengangguk ragu, dan memandang sekeliling.

Kesan pertama yang ada di benaknya hanya satu.

Rumah.
.
.
.
Beberapa perempuan yang duduk di kursi puff pojok sedikit ribut ketika menuliskan sesuatu di kertas. Mereka akan menggantungkannya pada pohon tiruan. Daun-daun itu sengaja di ganti menjadi potongan-potongan kertas berisi testimoni. Salah satu fasilitas yang memang di sediakan oleh pihak kafe agar lebih menarik.

Beberapa pekerja kantor pun juga terlihat tengah bercengkrama. Sesekali tertawa-tawa seolah beban mereka sudah hilang setelah seharian sibuk bekerja.

Di ujung sana, juga ada pria berjas rapi yang membaca komik, dengan di temani tumpukan bacaan lain di meja.

"Terimakasih, Kak Ink."

"Sama-sama, PP."

Pelayan itu menjawabnya sopan dengan senyuman ramah yang selalu terpatri. Dia baru saja mengantarkan pesanan ke meja PP dan Tay.

"Lo kenal sama pelayan itu?"

Tay bertanya setelah memastikan jika si pelayan sudah pergi cukup jauh. Tadi, pelayan itu juga sempat meminta tanda tangan dan foto dengannya.

PP hanya mengangguk, karena terlalu sibuk menyendok sorbet stroberi favoritnya kedalam mulut. Menikmatinya tanpa celah.

Tay sendiri memesan fudge brownies.

Shiny crustnya terlihat sangat menggoda.

Dia mulai menikmatinya.

Lalu, kembali menyendok untuk ke sekian kali.

Garis Terdepan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang