Dancing With My Father

2.6K 426 78
                                    

Hi, aku update
B)

.
.
.
.
.

Pemuda bersurai biru itu terdiam dalam duduknya. Eksistensinya saat ini seolah tak ada. Kini ia sedang menyaksikan kelima kawannya berbincang dan melupakan dirinya.
Mark dengan Haechan, Jeno dengan Jaemin dan Renjun, sedangkan ia bersama kecipak air di kakinya.

"Andai ada Chenle" gumamnya sangat pelan.

"Chenle sedang ada urusan dengan Ayah, Ji" namun Renjun dapat mendengar gumaman Jisung sekecil apapun suara yang Jisung buat.

"Baiklah, aku pulang duluan" lama-kelamaan Jisung kesal karena mereka menjawab pertanyaan saat Jisung bertanya saja, dan tak ada yang mengajaknya bicara. Bahkan Jaemin, Jeno dan Mark lupa menceritakan pada teman-teman duyungnya tentang pertandingan sengitnya tadi sore.

Menyebalkan.

"Eh iya, hati-hati ya" hanya itu yang keluar dari mulut teman-temannya, dan tak ada yang berseru untuk menahannya pergi. Benar-benar menyebalkan, bahkan lebih menyebalkan daripada Chenle.

Dikarenakan hari sudah sangat gelap, Jisung menyalakan senter dari ponselnya, lalu berjalan dengan mata yang terfokus pada ponsel yang menyala.
Saat asyik berjalan sendirian, tiba-tiba saja ia mendengar sebuah suara. Terdengar seperti nyanyian duyung, namun Jisung pun tak paham mengapa tiba-tiba ia ingin menangis saat mendengar nyanyian tersebut.

"Chenle?" panggil Jisung. "Apa itu kau?"

"Tapi suara Chenle tidak seperti ini" ragunya dalam hati.

Semakin didengar, dada Jisung semakin sakit. Kakinya kini tak bisa dikontrol, kemana ia melangkah pun ia tak tahu. Tangannya pun tak berdaya bahkan hanya untuk menggenggam sebuah ponsel.
Ponsel menyala itu terjatuh begitu saja di atas pasir pantai.

"Apa-apaan ini?!" Jangan bilang Jisung saat ini sedang terhipnotis oleh duyung atau siren untuk yang kedua kalinya?!

Ombak kecil mulai menghampiri kaki besarnya yang beralaskan sandal. Ia sangat ingin menghentikan langkahnya, namun ia tak berdaya atas kaki-kakinya. Semakin jauh, dadanya semakin sesak. Sedari tadi ia berteriak memanggil kawan-kawannya di dermaga, namun nihil, suaranya mungkin tak sampai.

Air kini sudah sebatas pusar, ia semakin panik dan ia tak bisa bernapas dengan baik saat ini.
Jisung merasakan ada sesuatu yang melilit kakinya.

"Anak kecil yang malang~"

Sebuah kepala menyembul dari dalam air. Wajahnya sangat menyeramkan dan begitu pucat, menatap lapar padanya dengan mata yang hampir seluruhnya putih.

"Kau... Siren?"

.
.
.
.
.

"Jadi kau adalah duyung berdarah siren? Kuyakin ibumu pasti seekor duyung yang paling menjijikkan di dunia ini" Siren besar itu menyilangkan tangan di depan dada dengan angkuh dan terkekeh geli.
"Dan kau adalah duyung paling mengenaskan di dunia ini" lanjutnya.

"Ekor putih adalah ekor siren, dan putih adalah warna yang dibenci oleh duyung. Kau pasti dibenci oleh teman-temanmu kan?"

Chenle tak bersuara. Ia berlindung di balik dekapan ayahnya.

"Hentikan itu, siren! Istriku tidak menjijikkan! Ia diculik oleh bangsamu untuk dijadikan sandera saat berperang 20 tahun yang lalu"

Chenle terkesiap mendengar cerita sang ayah yang menjelaskan bahwa ibunya pernah menjadi sandera sebelum ia lahir.

"Nayuta. Sang pahlawan kesiangan" Tiba-tiba saja, sosok siren yang lebih tinggi dan besar muncul begitu saja. "Kau telat menyelamatkan istrimu waktu itu. Ia terlanjur dinodai oleh bangsaku"

"Kakak? Jadi anak itu adalah putramu?" tanya siren yang lebih muda.

Chenle tak mengerti apa yang sedang terjadi dan apa yang mereka bicarakan. Dekapan sang ayah semakin erat saat dua siren tadi kembali menelisik ke arah Chenle.

"Duyung kecil ini adalah putraku, karena ia lahir dari istriku" tegas Yuta, sembari terus mendekap Chenle.

Dua siren itu terkekeh mendengar penuturan Yuta. "Cih, bahkan kau tak tahu ia berasal dari benih siapa".

"A-apakah aku ... Putramu?" Tanya Chenle pada siren yang lebih besar.

"Chenle! Kau—"

"Benar. Kau putraku. Akulah satu-satunya siren yang menyetubuhi duyung sanderaan 20 tahun yang lalu"

"Chenle. Ayo kita pulang ke rumah"

"Kenapa? Kau ingin ikut dengan kami bangsa siren?"

"Tidak akan ku biarkan itu terjadi"

"Diamlah, Nayuta. Biarkan dia memilih"

"Tentu saja ia akan memilihku"

"Dia terlihat tidak bahagia hidup bersamamu, Nayuta. Akulah ayahnya"

"Tidak mungkin—"

Kring~

"Ayah" cicitan kecil dari si mungil menginterupsi perdebatan antara duyung dan siren tersebut.

"Iya, Chenle?" tanya Yuta sembari melepaskan dekapannya pada Chenle.
Namun bukannya menatap Yuta, Chenle malah maju mendekati dua siren di depannya. "Ayah, tolong selamatkan temanku dari ancaman bangsa kita. Aku mohon"

Yuta menatap tak percaya. Putra keduanya kini lebih memilih siren menyeramkan itu daripada dirinya.

"Chenle.. Aku ayahmu" lirih Yuta yang masih tak percaya pada keputusan Chenle.

"Terimalah kenyataannya, Nayuta" seringai buas tergurat di bibir sang siren dengan tangannya yang merangkul bahu Chenle.

Mereka bertiga pun perlahan pergi menjauh dari Yuta yang masih tertegun menatap manik Chenle yang seolah mengucapkan "maafkan aku, Ayah" padanya.

____________________________

.
.
.
.
.

Heyyooooo!
Ada yang kangen?

Walaaah, maaf yaaa lama update,
aku sibuukk kerjaaa
:(

Makasih buat yg masih setia nunggu update-an aku yang muncul 450 tahun sekali ^^

Luv u and see u!

My Mythological Love [SungLe] HIATUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang