•1. Masalah

67 1 0
                                        


Malam harinya, di sebuah rumah bertingkat dua dengan dinding bercatkan putih dan coklat disertai hujan yang masih senantiasa membasahi kota. Ezza terduduk di sofa hitam ruang tengah, sembari menatapkan matanya ke arah depan dengan pikiran yang tidak karuan.

Brakk!!

Mendadak seorang pria paruh baya yang mengenakan setelan jas masuk mendekati Ezza sambil melemparkan sebuah surat putih di atas meja tepat di hadapan mata Ezza.

"Apa ini?!" saut pria itu dengan marahnya. "Surat polisi lagi? Mau sampai kapan kamu seperti ini terus Ezza,"

Ezza melirik pria di sampingnya itu setelah merasa bentakan dari suaranya mulai mengganggu telinga.

"Pah!" Ezza beranjak berdiri, "Aku cuman mau membela Nadin, dia di hamili dan orang yang menghamilinya itu malah mau kabur dan tidak bertanggung jawab."

"Dan lihat..." Ezza menunjuk ke arah seseorang yang sekarang tengah ada di hadapannya, "Apa usaha papah dalam membela anak putrinya? Papah malah seru-seruan di kantor tanpa memedulikan sedikitpun masalah keluarganya."

"Jaga mulut kamu, Ezza!" pria yang disebut 'Papa' oleh Ezza mulai menanggapi perkataan anaknya.

Gilang menggelengkan kepalanya, menatap anak putranya itu, yakni Ezza yang selalu saja berhasil membuatnya malu di depan para teman-temannya. Bagaimana tidak, Gilang merupakan salah satu pemilik dari suatu perusahaan di kota ini, dan akibat ulah Ezza ia menjadi sering mendapat surat teguran dari polisi. Hal itu sukses besar menjadi bulan-bulanan karyawan di kantor dan rekan-rekan bisnisnya.

"Papah tidak mungkin melakuin itu, justru papah sibuk mengurusi masalah kamu di kantor polisi akibat menusuk seseorang hingga tewas." Gilang menghela napas, "Apa yang kamu pikirkan, Ezza, Kamu mau jadi pembunuh?"

"Aku bukan pembunuh,"

"Bohong. Lantas siapa pelakunya kalau bukan kamu,"

"Itu teman aku, Pah,"

"Jangan melemparkan kesalahan diri kepada orang lain," ujar Gilang serius.

Perkelahian di antara ayah dan anak ini sudah biasa terjadi. Semenjak kematian ibunya, dan setelah ayahnya memutuskan untuk menikah kembali, Ezza perlahan memiliki perasaan kesal terhadap keluarganya, Ezza terbilang cukup dekat dengan ibunya bahkan sangat dekat. Ia sangat terpukul dengan kematian ibunya dan justru dengan santainya Gilang menikah lagi setelah mengetahui istrinya itu meninggal. Dari situlah titik awal perseteruan di antara mereka.

"Lagian buat apa coba papah datang ke sini? Kenapa nggak ke Perumahan Cendana aja bareng sama 'istri' barunya papah dan anaknya." kata Ezza dengan menekankan kata istri.

"Ezza! Apa-apaan kamu. Saya bertindak adil, saya mengurusi keluarga ini dan juga mengurusi keluarga Rita. Apa kamu tidak merasakannya?" balas Gilang.

"Saya tidak akan merasakan itu, sampai saya menemui keluarga saya yang sesungguhnya,"

Gilang memegang pundak putranya itu namun lekas di tangkis mentah-mentah oleh Ezza, "Ezza, papah nggak tau harus ngomong apa lagi ke kamu, tapi, tolong nak, ikuti perintah papah sekali saja. Keluar dari geng motor berandalan itu,"

"Nggak akan Pah!! Geng Venom sudah ku anggap seperti keluargaku sendiri, bahkan di sanalah aku mendapat arti dari kata kekeluargaan, jauh dari rasa yang ada di keluarga ini,"

"Ezza!"

Plak!!

Gilang menampar wajah anaknya itu. "Jaga mulutmu, tidak sopan!"

Kemurkaan Gilang sudah sampai di ujung batasnya. Ia kesal karena selalu saja perkataannya itu dibantah oleh Ezza.

"Cih," Ezza mengusap dagunya yang baru saja di tampar keras oleh ayahnya. Sekarang dalam pikirannya, tak ada lagi ayahnya yang dulu, semua sudah berubah. Tidak ada lagi ayah yang selalu bisa menenangkan hatinya ketika gelisah.

"Aku mau pergi,"

Ezza lekas mengambil jaket hitamnya yang sengaja tadi ia letakkan di atas meja makan. Tanpa berpikir panjang, berhubung suasana di rumah ini kian makin memanas, ia langsung menghampiri motornya yang terparkir di halaman depan kemudian menyalakan motor ninja berwarna hitam-nya itu.

"Ezza, papah belum selesai ngomong!" Gilang berupaya mengejar anaknya tetapi Ezza sudah terlebih dahulu meninggalkan kawasan rumah,

"Ezza!! Kemari sini,"

***

Sekarang rumah sakit Pelita masih ramai di kunjungi pengunjung. Ada yang mau berobat, menjenguk, dan lain sebagainya. Setibanya Ezza di rumah sakit, ia langsung memasuki lobbi dan pergi menanyakan ke salah satu perawat di situ. Sepanjang perjalanan tadi hawanya sangatlah dingin ditambah lagi dengan rintik-rintikan hujan yang sukses membasahi sekujur tubuh jaket hitam dengan garis-garis hijau, bertuliskan VENOM di belakangnya.

"Permisi, mba,"

"Iya, mas. Ada yang bisa dibantu?"

Ezza merogoh-rogoh kocek lalu mengeluarkan sesuatu benda dari kantongnya itu, Handphone. "Kamar Delima nomor 203, di arah mana ya?" tanya Ezza.

"Oh, kamar Delima ada di sebelah sana mas," ujar perawat itu sembari menunjukkan arah jalannya.

"Oke, makasih ya mba."

Sembari menyusuri lorong-lorong bilik, Ezza terus menatapi ponselnya yang dipenuhi pesan-pesan dari teman-temannya menyangkut kondisi tubuh adiknya sekarang. Langkahnya pun terhenti setelah berada di samping ruangan bertuliskan,

'Kamar Delima 203, Anastasya Nadine'

Di dalam, adiknya Nadin tengah terbaring lemas di atas kasur sembari memejamkan matanya, Sedih Ezza melihat keadaannya adiknya itu sekarang. Ia merasa bahwa penderitaan adiknya terlalu berlipat, dimulai dari dia yang dihamili oleh Delon dan dipukuli oleh seluruh anak-anak geng BaraKuda membuat Ezza semakin menyimpan dendam kepada geng sebelahnya itu.

Tak ada kata perdamaian setelah ini BaraKuda, batin Ezza.

Ezza mengambil tempat di samping kasur Nadin sembari mengusap pucuk kepala adiknya itu. Nadin yang merasa ada seseorang yang singgah di sekitarnya lekas membuka matanya kemudian melirik ke arah sesosok pria dengan wajah yang pucat dan rambutnya yang berantakan.

"Kak Ezza?" kata Nadin berusaha bangkit dari zona berbaringnya, tapi tidak berhasil akibat rasa nyeri yang masih senantiasa hinggap di tubuhnya.

"Jangan banyak gerak dulu, Din." Ezza menidurkan kembali adiknya. "Kakak cuman mau mastiin keadaan kamu, masih sakit?"

"Kak, Nadin denger kakak berantem ya sama gengnya Delon?" potong Nadin menaikkan alisnya.

Ezza mengangguk mengiyakan.

Ia tidak bisa lagi berbohong, kejadi tawuran besar-besaran tadi memang sangat viral di televisi. Jadi siapapun bisa dengan cepat mengetahui kabar itu.

"Kak..." Nadin menggenggam telapak tangan kakak laki-lakinya itu. "Jangan cari masalah lagi ya sama gengnya Delon, cukup aku aja yang jadi bahan kenakalan mereka,"

"Iya, setelah ini kakak pastiin mereka nggak akan lagi mukulin kamu,"

"Kakak janji," ujar Nadin sembari menaikkan kelingkingnya, berharap Ezza juga mau menanggapi jadi persimbolan janji itu.

"Hehehe," Ezza terkekeh pelan. Kemudian membalas gerakan jari yang berjanji itu. "Kakak janji,"

Keduanya pun langsung tertawa bersama melihat rasa manja yang ditunjukkan Nadin. Ezza dan adiknya juga dekat seperti ia bersama ibunya. Nadin hanya berbeda dua tahun dengannya membuat adiknya itu juga perlahan mulai berubah ke fase pendewasaan diri. Bahkan ketika hari pemakaman ibunya, justru Nadin lah yang paling histeris tak percaya menatap tubuh ibunya itu dikubur di dalam tanah, hingga Ezza kembali menenangkannya kala itu.

Permasalahan ini tidak akan terjadi kalau saja Nadin tidak berpacaran dengan Delon. Sudah sedari awal, Delon itu anak nakal. Ketua geng BaraKuda dengan hobi mabuk-mabukkan dan perkelahian. Kejadian ini juga sebagai balasan untuk Ezza akan kurangnya pengawasan dalam melihat tingkah adiknya sendiri.

"Kak, suapin Nadin bubur itu dong," pinta Nadin menunjuk ke arah kotak putih di samping Ezza.

~•~

Happy Read...
My Peace...
Futaa...

ALTEZZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang