"Aaa ...!" Aku menjerit sekuat tenaga saat kepalaku tertutup sesuatu. Gelap. Rasa sesak yang tiba-tiba terasa mencekik membuat tanganku menggapai-gapai udara tak tentu arah.
Hah!
Aku menghirup udara banyak-banyak saat benda yang menutupi kepalaku terlepas, lantas memandang sengit pada seseorang yang sedang tertawa puas itu.
Nyebelin!
Dengan napas yang masih memburu, aku melayangkan pukulan bertubi-tubi pada lengan kekar Aa.
"Aduh ampun, Tiara. Ampun!"
Rasakan! Aku enggak mau mendengar nada permohonannya.
Detik berikutnya, tangan itu berhasil memegang kedua lenganku, erat. Aku berontak, tetapi tentu saja tenagaku kalah kuat. Akhirnya aku pasrah, diam dengan pandangan yang terus menghunjam pada kakakku yang nyebelin itu.
"Udah. Maaf."
"Aa kebiasaan! Udah tau aku takut gelap. Takut kalo kepalanya ditutupi gitu." Kesal bercampur marah membuat mataku memanas. Ingin segera mengeluarkan cairan bening dari mata, tetapi sekuat mungkin aku menahan. Akibatnya, napasku semakin sesak dan memburu.
"Maaf, Dek, maaf. Cuma becanda." Aa menghapus air yang berhasil lolos dari sudut mataku dengan ibu jarinya.
Rasa kesal yang masih bercokol dalam hati membuatku kembali memukul tangannya.
Aa menangkap tanganku, lalu membawaku ke pelukannya. "Udah, sayang, maaf. Minggu jalan-jalan deh."
Heleh! Rayuan andalan kalau aku lagi ngambek. Pasalnya, Aa sering melarang saat aku ingin jalan-jalan. Alasannya karena fisikku lemah. Aku tidak boleh kecapekan, nanti akan sakit.
Ck! Double nyebelin!
"Gak boleh nyogok. Dosa!" Aku menghapus lelehan di pipi dengan punggung tangan. Lalu melepas pelukan, berpura-pura nggak berminat dengan tawarannya.
"Bukan nyogok, tapi bukti perdamaian."
Aku mendongak, menatap wajah bersih yang tengah tersenyum di hadapan. "Bener, ya!"
"Insyaallah." Satu kecupan mendarat di keningku.
"Kalian ini udah pada dewasa, tapi masih aja suka ribut. Udah, ayo sarapan." Mama menghampiri lalu segera menarik tanganku, membuat kami berjalan beriringan. Sementara Aa mengikuti dari belakang sambil mengusap-usap kepalaku.
"Mah, Tiara sudah besar, ya? Udah cocok tuh kalo nikah," ucap Aa setelah kami berkumpul di meja makan.
"Apaan, sih, nikah-nikah? Aa aja dulu, udah tua juga." Aku melotot ke arah Aa. Seperti biasa, kakakku itu selalu menampilkan wajah konyol saat aku menatapnya kesal.
Lagi pula Aa ada-ada saja. Tadi iseng nutupin kepalaku pakai sarung. Sekarang mau iseng minta aku nikah?
Gak lucu!
"Pengennya sih gitu, tapi belum ada yang cocok."
"Kasihan banget, sih, nih jomblo, gak laku-laku."
Tentu saja, umur Aa sudah menginjak dua puluh delapan tahun, tetapi belum ada satu perempuan pun yang pernah taaruf dengannya, atau minimal dekat. Padahal aku sudah menjodoh-jodohkannya dengan Ustazahku. Teman-temanku juga banyak yang menyukainya, bahkan ada juga yang mengungkapkan secara terang-terangan. Namun, sayangnya kakakku enggak pernah menanggapi dengan serius. 'Masih bocah' katanya.
Ish! Triple nyebelin!
"Memangnya ada yang mau sama Tiara yang cerewet begitu kayak mamanya? Hahaha." Seketika tawa Ayah dan Aa membahana di ruangan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Aku Jatuh Cinta
Romance"Jika dua insan saling menyukai sebelum halal, lalu sama-sama menunjukkan rasa yang pada akhirnya memancing perbuatan dosa. Itu bukan cinta, tapi nafsu."