Pertengkaran

4 0 0
                                    

"Ra, beneran kamu pacaran sama laki-laki di foto itu?"

"Eh, cerita dong, Ra, kok bisa?"

"Hus! Belum tentu Tiara pacaran."

"Ganteng banget cowoknya. Mirip pemain drakor. Asli!"

"Bener, gak, sih, Ra? Kepo, nih. Siapa namanya?"

Suara-suara saling bersahutan terdengar begitu aku bergabung dengan teman-teman yang lain. Kami sedang istirahat menunggu pelajaran ke dua dari Ustazah.

Aku menghela napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Temen-temen, cowok yang di foto itu bukan pacar aku. Kami gak pacaran. Foto itu juga waktu kami gak sengaja ketemu."

"Halah ... gak pacaran tapi mesra banget. Sambil liat-liatan lagi." Suara dari sekumpulan lain menyahuti.

"Denger-denger tuh jam tangan juga dikasih sama cowok itu."

Dari mana dia tahu jam tangan ini hadiah? Pasti ada yang mata-matain aku, nih.

"Wah, masa? Sampe dikasih hadiah berarti memang ada apa-apa, dong."

Telingaku sudah panas mendengar tuduhan mereka yang tak berdasar.

Sabar, Tiara! Sabar. Tahan. Tahan dulu.

"Ya iyalah ada apa-apa. Gak mungkin, kan, orang ngasih hadiah begitu aja."

"Munafik!"

Astagfirullah ... fix! Kali ini aku benar-benar tak bisa menahan kesabaran lagi.

Aku berdiri, lalu menghampiri sekumpulan cewek yang menatapku dengan sinis itu.

"Risma! Devi! Yanti! Kalian gak tau apa-apa. Kalian gak tau yang sebenarnya seperti apa. Jadi jangan bilang aku munafik kalo gak mau aku nyebut kalian tukang fitnah! Paham!" Aku tak peduli semua orang memandangku sekarang. Aku tak peduli setelah ini mereka tak akan menyukaiku lagi. Aku tak terima dibilang munafik! Tak terima!

Risma berdiri. Matanya melotot dengan ke dua tangan berkacak pinggang. "Kalo bukan munafik terus apa? Kami juga gak fitnah. Jelas-jelas buktinya foto itu."

"Itu cuma foto, Ris, gak bisa dijadikan sebagai bukti akurat."

"Maksudnya kamu mau nyangkal? Mau bilang itu foto editan?"

"Bukan gitu! Coba aku tanya, kamu tau siapa yang fotoin?"

Risma terdiam, begitu juga dengan yang lain.

"Kalo yang fotoin ada di sini, pasti dia akan tahu seberapa berusahanya aku menghindar dari cowok itu."

Huh! Aku melepas napas kasar, untuk mengurai sesak yang perlahan mengimpit dada.

Kutekan dada yang mulai terasa nyeri denyutannya.

"Ra, udah, Ra. Ayo duduk lagi" Disti, Rini, dan Sela memegang tubuhku, sedikit menarik supaya aku mengikutinya.

"Ada ape ni? Baru ditinggal bentar dah ribut dah." Suara Ustazah Lina terdengar.

Aku tak tahu apalagi yang mereka bicarakan. Aku sudah sibuk menenangkan diriku sendiri dan menahan denyutan nyeri di dada.

"Tiara, sebaiknya kamu pulang, biar Ustazah antar," Ustazah Zahra sudah duduk di depanku. Tangannya mengusap keringat yang berkumpul di dahiku.

Aku menggeleng. Masih berusaha menenangkan diri, padahal gigi-gigi sudah mulai mengatup menahan perasaan yang tiba-tiba gelisah. "Aku gak mau pulang, Ustazah. Gak mau."

Kalau aku pulang, semua orang di rumah pasti akan tahu masalahku. Aku tak mau. Apalagi Aa sedang sakit. Aku takut masalahku malah semakin membebaninya.

Biarkan Aku Jatuh Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang