Sistem menghapal di tempatku mengaji itu, kalau sudah hafal satu juz, maka harus diujikan terlebih dahulu sebelum menambah hafalan baru. Ustazah pengujinya juga bukan ustazah yang biasa mengajar, tapi ustazah lain yang lebih senior. Datangnya hanya seminggu sekali.
Hari ini giliranku ujian hafalan. Ah, rasanya dadaku terus berdebar semenjak berangkat dari rumah. Selalu seperti ini. Bukan hanya aku saja, rata-rata santri yang lain juga seperti itu. Akan nervous jika akan mengikuti ujian, apalagi kalau sudah berhadapan dengan Ustazah Lina. Ustazah dari Negeri Jiran itu terkenal tegas tanpa toleransi.
Bayangkan saja, ujian per-juz itu harus dibaca langsung satu juz sekali duduk. Tidak boleh ada yang salah. Jika terdapat kesalahan, maka ujian harus di ulang. Hebat memang.
Karena sistemnya, menghafal bukan sekedar hafal, tapi menghafal sampai mutqin, alias hapalan menancap kuat dalam ingatan. Lebih bagus lagi sampai diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ya, memang seperi itu seharusnya.
Karena itu, semalam aku begadang untuk muraja'ah sampai jam dua pagi. Baru tidur dua jam setengah kembali dibangunkan Mama untuk salat subuh. Alhasil sekarang aku gantuk banget. Mata rasanya berat dan susah terbuka. Beberapa kali menutup mulut karena kuapan.
Benar-benar melelahkan!
Terlebih hari ini ada pelajaran tajwid. Hasilnya aku tidak bisa fokus dan berkali-kali kepala terhuyung karena tidak sadar tertidur.
"Tiara!"
Aku terperanjat. Seketika menoleh ke samping ketika terasa tepukan di bahu. "Eh, iya, Ustazah."
"Silahkan wudu dulu, biar enggak ngantuk."
Aku tersenyum, malu. Lantas pamit dan beranjak ke kamar mandi.
"Kamu begadang semalam?" bisik Disti setelah aku kembali duduk di sampingnya.
Aku menggukan kepala. "Hari ini ujian, makanya semalaman aku muroja'ah."
"Pantesan, hitam gitu lingkaran matanya."
Aku tertawa lirih menanggapi ucapannya. Ah, biarlah, aku akan pakai timun saat tidur nanti.
***
Sore ini, Aa kembali tidak bisa menjemput. Sudah seminggu ini kakakku itu selalu sibuk, entah sibuk apa. Kalau situasi biasa, sih, tak apa. Tapi Aa selalu berhalangan menjemput ketika situasinya tidak tepat. Saat ini aku sangat sangat mengantuk. Rasanya capek banget, ingin segera sampai rumah terus tidur.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Mataku membesar melihat seseorang berdiri tak jauh dariku. Ke dua tangannya dia masukkan ke dalam saku jaket levisnya.
Aku memalingkan wajah. Lalu berdecak sebal. Merasa bahwa sekarang ini waktunya tak tepat bertemu Kak Rain. Aku benar-benar tak ingin diganggu saat ini. Kehadirannya pun selalu membuat jantungku berlompatan.
"Kenapa gak pernah main ke kampus lagi?"
"Gapapa."
"Kakak tungguin kamu gak pernah dateng. Makanya kakak nyusulin ke sini."
Berkali-kali aku berdecak dan mengumpat dalam hati. Ya Allah ... dosa apa aku sampai harus kenal dengan orang seperti Kak Rain.
Sebuah kotak seukuran genggaman tangan orang dewasa terulur ke arahku. "Hadiah untukmu."
Aku mengerutkan kening memandangi kotak itu, lalu beralih menatap wajah lelaki yang berjarak lima langkah dariku. Tak lama, sebab aku kembali mengalihkan pandangan.
"Maksudnya apa?" tanyaku tanpa melihat ke arahnya.
"Pake nanya. Ini hadiah buat kamu."
Tak ada angin, tak ada hujan, Kak Rain ngasih hadiah buat aku? Aneh banget. Teman juga bukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Aku Jatuh Cinta
Romance"Jika dua insan saling menyukai sebelum halal, lalu sama-sama menunjukkan rasa yang pada akhirnya memancing perbuatan dosa. Itu bukan cinta, tapi nafsu."