Sebuah Rutinitas

9 0 0
                                    

Rumah Tahfiz Az-zahra, sebuah nama tempat aku menimba ilmu selama setahun ini. Rumah Tahfiz yang di dirikan khusus perempuan ini sudah berdiri sejak tiga tahun lalu. Setiap angkatan dibatasi hanya lima belas orang murid dengan tiga ustazah pengampu selama dua tahun.

Di sini, bukan hanya hafalan Al-Qur'an saja yang diajarkan, tapi tajwid dan pelajaran agama islam juga dipelajari sebagai bekal tambahan.

FYI, aku merasakan perubahan yang sangat signifikan dalam hidup setelah aku belajar di sini. Ya, walau awalnya terpaksa, tapi lama-lama merasa nyaman karena terbiasa.

Kesehatanku pun sepertinya mengalami perubahan baik. Aku merasa lebih kuat, tak terlalu sering mengunjungi rumah sakit lagi. Entah karena aku merasa bebas sehingga hormon bahagia dalam diriku bertambah, atau karena setiap hari aku berinteraksi dengan Al-Qur'an.

Bukankah Al-Qur'an itu obat?

'Dan kami turunkan Al-Qur'an sebagai penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.' (QS al-Isra: 82).

Itu salah satu ayat yang pernah disampaikan oleh ustazahku.

Karena itu, aku meyakini ke dua hal tersebut memang berpengaruh pada diriku.

.

Terdengar suara motor yang sangat familiar di telinga begitu aku selesai tahfiz. Oh, tidak! Sepertinya seluruh penghuni rumah tahfiz ini sudah kenal dengan suara motor itu. Siapa lagi kalau bukan Aa? Kupastikan sebentar lagi teman-teman akan heboh.

"Eh, ada Aa Sam!"

"Mana? Minggir, aku mau lihat."

"Geser atuh! Aku gak kelihatan."

Nah, kan!

Hellow ... aku di sini. Adiknya masih duduk manis, tapi tak dipedulikan? Oh, ya ampun.

"Ekhem. Jaga pandangan akhwaty." Suara Ustazah Zahra menghentikan aksi mengintip mereka.

Aku terkikik melihat mereka yang berhamburan dari jendela. Sementara Ustazah Zahra tersenyum sambil menggelengkan kepala.

Bayangkan saja, dua belas orang saling berhimpitan di jendela supaya bisa melihat sang idola. Ish! Ish! Ish!

Kuhampiri wanita yang memiliki senyum lembut keibuan itu, lalu kucium tangannya. "Ustazah, aku pamit."

Wanita anggun di depanku ini tersenyum sambil mengangguk. Duh, kok ada, ya, makhluk Allah secantik ini. Senyumnya itu ... seperti magnet. Aku tak bisa kalau tak membalas senyumnya.

"Mau titip salam buat Aa gak?" Kukedipkan sebelah mata.

Ustazah Zahra tersenyum sambil menggeleng. Kebiasaan! Dia tak pernah menanggapi omonganku perihal Aa. Padahal aku, kan, serius.

"Hati-hati, ya." Suaranya lembut mendayu.

"Siap calon kakak ipar. Assalamualaikum." Aku segera berlari, menghindari cubitannya pada pipiku.

Mataku bertumbuk pada seorang gadis bermata sipit. Dia tengah membereskan barang-barangnya ke dalam tas.

"Lestari, aku pamit duluan, ya. Assalamualaikum."

Dia mengerling menatapku, lalu tersenyum sekilas sambil mengangguk sekilas pula. "Waalaikumsalam."

Kemudian aku berpamitan kepada teman-teman yang lain.

Kuhampiri Aa yang sudah menunggu di atas motornya. Dengan jaket kulit yang dia kenakan, Aa terlihat sangat keren. Ditambah dengan senyum yang menenangkan, juga tatapan matanya yang teduh, membuat pesonanya tak terbantahkan. Pantas saja teman-teman suka histeris kalau lihat Aa.

"Tumben cepet, A?" Aku menerima helm yang Aa ulurkan, lalu segera memakainya.

"Telat diomelin, cepet ditanyain. Maunya gimana?"

"Ish! Aku, kan, cuma nanya."

Aa terkekeh, sementara aku menaiki motor dengan wajah ditekuk.

Sebelum motor berjalan, masih sempat kudengar teriakan teman-teman dari dalam.

"Tiara, hati-hati!"

"Salam buat Aa!"

"Aku juga salamin!"

Heleh! Tiap hari kirim salam doang. Kirim hadiah dong, kan, bisa buat aku nanti hadiahnya.

"Tuh, Aa denger sendiri, 'kan? Makanya cepet nikah, biar gak diharepin terus sama temen-temen aku. Gayanya nyuruh aku nikah duluan, padahal sendirinya banyak yang antri."

"Banyak juga, kan, belum ada yang cocok. Kalo adek, kan, memang udah ada stok."

Belum ada yang cocok katanya? Aa mau mencari yang seperti apa lagi? Sudah kujodohkan dengan akhwat cantik, baik, cerdas yaitu Ustazah Zahra, tapi selalu tak ada tanggapan.

Sebel!

Apa maunya yang seperti Ratu Balqis?!

"Denger, nih, ya ... kalo Aa nikah, Adek sama siapa? Nanti bakal sering kangen lagi sama Aa." Pria di depanku menoleh seraya berteriak supaya suaranya dapat terdengar olehku. "Terus Adek gak ada yang usilin, nanti kesepian gimana?"

Ish! Pede banget!

"Tapi A, aku beneran loh pengen Ustazah Zahra jadi kakak iparku." Mumpung lagi bahas perjodohan, mending sekalian saja membahas Ustazah Zahra.

Sebetulnya aku tuh penasaran. Kenapa Aa nggak mau, lebih tepatnya seolah nggak ingin menanggapi jika aku sudah menyinggung perihal Ustazah. Sebelas-dua belas dengan ustazahku itu. Apa ada sesuatu di antara mereka? Aku jadi curiga.

Aa nggak menyahut. Seperti biasa, dia pura-pura gak mendengar. Oke. Akan kukeluarkan jurus seribu cubitan.

"Aduh, Ra, apaan sih, lagi di motor, nih, bahaya." Aa menggeliat, membuat sedikti goncangan pada motor yang kami tumpangi.

"Lagian Aa sok pura-pura gak denger."

Lagi-lagi aku dicuekin!

Motor berbelok ke arah masjid pinggir jalan. Aa mematikan mesin motor lalu melepas helm.

"Loh, kok ke sini, A?"

"Ketemu temen dulu bentar, ya."

Ck! Kebiasaan!

Aku turun dari motor mengikuti Aa yang sudah lebih dulu turun. Lalu berjalan ke arah yang berlawanan dengannya. Sempat kulihat lelaki yang berdiri menyambut Aa di teras masjid. Aku tak bagitu melihatnya dengan jelas, hanya sekilas sebab buru-buru menundukkan pandangan dan berjalan tergesa.

Aku sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Kalau jalan dengan Aa, ada saja orang yang akan dia temui. Entah itu bapak-bapak, akang-akang, abang-abang, ikhwan-ikhwan, dan entah siapa lagi yang berakhir aku dicuekin. Karena sebagian besar teman-temannya laki-laki, mau tak mau aku harus menepi sebab tak diizinkan untuk nimbrung percakapan dengannya.

Kecuali kalau mau bertemu dengan perempuan, Aa selalu memintaku tetap mengikutinya tanpa harus menghilang sampai urusannya selesai. Kalau dipikir-pikir, aku ini seperti bodyguard saja. Ck!

"Sabar ajalah, dia gak bisa dipaksa. Tau sendiri dari kecil emang keras kepala." Sayup-sayup kudengar Aa berbicara. Entah siapa yang dimaksud.

Jangan-jangan mereka sedang ghibahin orang. Tapi itu tak mungkin. Masa iya mereka menggosip, udah macam ibu-ibu saja.

"Ya, ana ngerti. Setidaknya ana udah bilang ini sama antum."

Apa maksudnya? Siapa yang mereka bicarakan?

Biarkan Aku Jatuh Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang