"Udah dua minggu, Ra, aku belum juga lulus. Capek rasanya."
Aku mengusap pelan bahu gadis yang sedang tertunduk itu. Sedangkan tangannya menutup wajah.
"Udah jangan nangis terus. InsyaAllah minggu depan kamu lulus." Aku menghela napas. Aku paham betul bagaimana rasanya saat ujian hafalan tidak lulus. Benar-benar nyesek! Apalagi sampai dua kali, karena aku pernah merasakannya dulu.
Bukan hanya aku, bahkan santri-santri yang lain juga pernah.
Aku masih ingat, saat itu ujian pertamanku. Karena menganggap enteng murajaah alias mengulang hapalan, akhirnya aku terlena sampai waktu ujian. Hafalan yang lalu banyak yang lupa. Alhasil aku menangis, sampai-sampai Aa memelukku di depan teman-teman karena tangisku tak kunjung berhenti.
Setelah itu, aku memahami hal yang sebelumnya sudah Aa dan Ustazah peringatkan, bahwa murajaah itu lebih sulit dibanding menghafal. Sebab itu aku selaku murajaah tiap hari.
"Fashbir shobron jamiilaa. Maka bersabarlah dengan kesabaran yang baik." Aku mengutip ayat yang pernah kuhapal, kemudian memeluk Disti yang masih menangis.
Beberapa saat kami terjeda dalam keheningan. Hanya ada isak tangis Disti yang sesekali masih terdengar.
"Kemuliaan Al-Qur'an itu tidak akan didapat kecuali oleh orang-orang yang sabar." Aku mengutip kata-kata dari sebuah buku yang pernah kubaca.
Adakalanya kita diuji dalam menghafal Qur'an; seperti rasa malas, capek, jenuh. Tapi semua itu harus cepat diatasi. Jangan dibiarkan berlarut-larut. Salah satunya harus ada yang menyemangati dan mendorong supaya tetap berjalan dan bertahan.
Aku yakin, sangat yakin kalau setiap orang butuh mentor. Butuh orang lain sebagai penasehat dan penyemangat. Itu yang coba kulakukan sekarang.
Bukan maksud merasa lebih pintar dan lebih baik, tapi kami para penghafal qur'an itu saling menguatkan dan saling memberi semangat. Karena kami tahu bagaimana perjuangannya. Sulit, sangat sulit. Apalagi supaya bisa tetap istiqamah.
"Makasih ya, Ra, aku udah lebih tenang sekarang. Pantes kamu nangis-nangis sampe dipeluk Aa-mu dulu," ucapnya sambil melepas pelukan, kemudian menghapus wajah basahnya.
"Udah, nggak usah dibahas. Malu tau." Kucubit hidungnya yang memerah, lalu kami berdua tertawa.
"Ra, kemarin ada cowok yang minta nomor kamu. Awalnya nggak aku kasih, tapi dia bilang calon suami kamu. Emang beneran?"
Mataku membulat seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Khawatir ada orang lain yang mendengar. "Orangnya kayak gimana?" Aku bertanya, hanya untuk memastikan.
"Ganteng, Ra. Tinggi, putih, manis, gayanya trendi. Pokoknya kayak oppa-oppa Korea gitu." Gadis berkaca mata itu berbinar sambil berteriak histeris.
Aku membekap mulutnya dengan tangan. "Jangan berisik!"
Disti mengangguk kemudian dia menepuk lenganku. "Masa gak tau calon suami sendiri?" tanyanya setelah tanganku terlepas.
"Sembarangan! Dia bukan calon suami aku. Lagian masa calon suami nggak tau nomor hp calon istrinya."
Disti meringis, mungkin menyadari ketidak sempurnaan otaknya. Gadis itu memang sedikit oleng.
"Terus siapa?"
"Nanti kujelasin di telepon"
Oh, tidak! Tidak! Tidak! Kak Rain keterlaluan. Syukurnya yang dia datangi Disti, kalau yang lain bagaimana? Bisa jadi gosip nanti. Atau bahkan mereka akan berpikir macam-macam tentangku.
Ini tak bisa dibiarkan!
***
Sore ini, lagi-lagi Aa tidak bisa menjemput. Rasa was-was yang sempat hilang kini kembali datang.
Entah kenapa akhir-akhir ini Aa sering sekali ada urusan. Lalu dia akan pulang dengan tubuh lelah dan wajah pucat.
Sebelum ke luar gerbang, aku mulai mengamati keadaan sekitar, takut kalau Kak Rain sampai menemuiku lagi. Bahaya buat jantungku.
Setelah dirasa aman, aku berjalan tergesa menuju tempat biasa menunggu angkot.
Ya Allah, semoga tidak ada orang menyebalkan itu.
"Ekhem."
"Astaghfirullah! Kak Rain?! Ngagetin aja tau nggak?" Aku memegang dada, menahan detakan jantung yang berpacu cepat.
"Kaget ya? Maaf deh," ucapnya dengan gaya slengeannya yang khas.
Kenapa lagi-lagi lelaki itu ada di sini, sih? Lagian dari mana datangnya coba? Tiba-tiba sudah ada di belakangku. Ck!
"Kakak tadi lihat kamu, pake nengok kanan-kiri segala. Segitu takutnya kamu ketemu sama kakak?"
Apa dia bisa baca pikiranku?
Kak Rain tertawa. "Ekspresi wajahmu itu gampang ditebak, Tiara. Transparan," katanya lagi, dengan memutar-mutarkan telunjuk di depan wajahku.
Aku membuang muka. Malas meladeninya. Apalagi sepertinya dia bisa membaca ekspresi wajahku.
"Semalam kenapa handphonenya dimatikan?"
"Nggak kenapa-napa." Aku menjawab tanpa melihatnya.
"Kalo kakak chat tolong dibalas, ya."
Aku terdiam dengan tangan mengepal erat. Gemas. Rasanya ingin mencubit pakai tang orang yang melihatku tanpa berkedip itu. Walau jarak kami lumayan agak jauh, tetap saja rasanya tidak nyaman ditatap seintens itu.
"Kalau nggak, jangan salahkan kalo nanti kakak ke rumahmu."
Mataku melebar dengan mulut menganga mendengar perkataan absurdnya. Kurasa mulai sekarang hidupku tak akan tenang.
Allahu Rabbi ....
"Nggak bisa gitu dong, Kak!"
"Kenapa?"
"Itu namanya pemaksaan." Mataku mendelik, marah. "Aku gak mau."
Kak Rain menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Matanya menyipit ke arah tubuh sampingku. Heh! Mau apa dia?
"Cantik."
Seketika mataku tertuju pada jam tangan pemberiannya yang melingkar di pergelangan tanganku. Ah, ternyata pandangan kak Rain mengarah pada jam ini.
Duhai ... hampir saja jantungku beneran copot.
Aku mendongak sehingga tatapan kami bertemu. Mata sipit dengan alis tebal itu, ditambah pipinya yang putih, bersih, dan sedikit tirus, dia terlihat ... manis. Baru kali Ini aku memperhatikan wajahnya.
Astaghfirullah ... kualihkan pandangan ke segala arah.
Jaga pandangan Tiara!
"Kakak seneng kamu mau pake hadiahnya."
Gugup. Salah tingkah. Malu. Bagus, Tiara! Komplit semua. Gayanya kemarin menolak kado dari Kak Rain, tapi sekarang malah ketahuan dipakai.
"Mmm ... kan ... mubazir kalo gak dipake."
Lelaki itu terkekeh, lalu mengangguk. "Kalo gitu Kakak tunggu hadiah dari kamu, ya. Bye."
Eh?!
Dia berlalu begitu saja setelah membuatku syok.
Ingin rasanya aku menjambak rambut tebalnya, lalu diremas-remas sampai patah-patah. Argh!
Lagi, kupandangi jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Tanpa sadar senyumku tersungging. Memang cantik, makanya aku pakai.

KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Aku Jatuh Cinta
Romantik"Jika dua insan saling menyukai sebelum halal, lalu sama-sama menunjukkan rasa yang pada akhirnya memancing perbuatan dosa. Itu bukan cinta, tapi nafsu."