Sabar dan Syukur

7 0 0
                                    

Aku turun dari motor dengan perasaan dongkol. Tanpa berbicara lagi, aku melangkah ke rumah sambil mengentakkan kaki.

"Dek!"

Aku terus berjalan, tak mau mendengar panggilan Aa.

"Dek!"

"Dek, helmnya lepas dulu!"

Langkahku terhenti. Detik berikutnya ke dua tanganku memegang kepala yang masih tertutup helm. Seketika terdengar tawa keras di belakang sana.

"Aa nyebelin!" Aku melepas helm, lalu buru-buru berjalan menghampirinya.

"Loh, Kok jadi Aa yang nyebelin. Kan, kamu yang lupa buka helm."

Tanpa kata, kuserahkan helmnya pada lelaki yang masih bertahan dengan tawanya itu. Benar-benar nyebelin!

"Assalamualaikum. Mama!" ucapku cukup keras. Lalu segera memasuki rumah,  menuju dapur tempat biasanya Mama berada.

"Kenapa Sayang?"

"Aa nyebelin, Mah," aduku. "Masa tadi di motor bilang aku belajar yang rajin biar pinter terus cepet nikah."

"Emang bener, 'kan? Adek harus belajar yang rajin."

"Iya bener. Tapi bagian nikahnya enggak." Aku melirik tajam ke arah Aa yang baru memasuki rumah. "Pokoknya Aku gak mau nikah dulu. Aa jangan nyuruh-nyuruh aku buat nikah. Titik!"

Kutinggalkan mereka menuju kamar. Sebel banget. Cuma gara-gara aku kepo apa yang Aa bicarakan dengan temannya tadi, Aa malah minta aku buat rajin belajar, terus cepet nikah.

Lagian kenapa, sih, perempuan harus buru-buru nikah di usia muda? Sekarang itu zamannya era modern. Banyak kok perempuan yang lebih dulu sukses dalam berkarir. Sukses mengejar cita-citanya. Baru setelah itu mereka menikah.

Lagi pula menikah itu butuh persiapan. Butuh kesiapan; lahir, batin, dan mental. Butuh ilmu agama juga. Seperti kata Ayah kemarin, 'harus tahu dulu apa hak dan kewajiban suami dan istri.'

Kalau menurutku, sih, ya, tidak apa-apa menikah muda, asalkan dia mau. Catat! Mau, ingin, hayang. Sementara aku? Kuharap Allah mengabulkan semua doa-doaku yang ingin meraih kesuksesan dulu sebelum menikah.

Aamiin.

***

"Disti!" Aku menghambur memeluk wanita berkaca mata yang sudah duduk di barisan paling belakang. "Gimana sekarang? Udah baikan? Kangen tau."

"Alhamdulillah ... baik. Masa, sih? Kukira kamu gak bakalan kangen. Tiga hari aku sakit kamu gak ada jenguk, tuh." Disti memperlihatkan wajah sebal.

Kucubit pipinya yang semakin tirus. "Kan tadinya mau hari ini jenguk, tapi kamunya udah keburu masuk tahfiz."

"Alasan!"

Kami berdua terkekeh, lalu segera terdiam saat Ustazah datang.

.

Sore.

Selepas tahfiz, aku menunggu Aa menjemput. Seperti biasa, duduk di atas bale di bawah pohon mangga dengan buku di tangan. Terkadang membuka mushaf sambil murajaah.

"Belum dijemput juga, Ra?"

Aku menggeleng. Lantas menutup buku dan bergeser memberikan tempat untuk Disti.

"Kamu enak, ya, tiap hari ada yang jemput. Kadang diantar juga," ucap Disti dengan tatapan menerawang. Seperti tengah memikirkan sesuatu.

"Enggak tiap hari juga kali. Kamu, kan, tau sendiri kadang aku naik angkot kalo Aa ada urusan."

Biarkan Aku Jatuh Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang