Hidup memang tak akan selalu lurus selurus talenan. Tak akan pula selalu manis semanis puding cokelat. Hidup itu perputaran. Sebuah keniscayaan setelah merasakan kesenangan, akan ada kesedihan menghampiri. Setelah merasakan kemudahan, akan ada kesulitan yang harus ditaklukkan.
Termasuk kehidupan. Hari-hariku mulai berubah. Tak semenarik dulu. Di rumah tahfiz sudah tak setentram biasanya. Sekarang teman-teman seperti terbelah menjadi tiga kubu. Yang satu masih mau berteman. Satu lagi sudah tak ingin dekat seolah ada sekat. Satunya memilih tak peduli dan tetap fokus pada diri sendiri.
Terkadang ada rasa sedih saat mengingat penghuni rumah tahfiz jadi tercerai-berai. Namun, aku berusaha menampakkan diri sebaik mungkin, seolah tak terjadi apa-apa.
Di rumah pun tak kalah sepi. Aa jadi sering demam. Kemudian sembuh. Demam lagi, sembuh, lalu demam lagi. Selalu seperti itu. Bagai pergantian cuaca di tahun 2021.
Berkali-kali aku membujuk Aa supaya periksa ke dokter, tapi Aa terus saja menolak.
"Mau ngapain pergi ke dokter? Aa nggak apa-apa. Cuma demam." Jawaban yang sama setiap kali aku, Mama, atau Ayah memintanya berobat.
Ish, ngeyel banget!
Masalahnya kalau Aa sakit, aku tak bisa jalan-jalan. Padahal itu kegiatan yang paling aku tunggu-tunggu setiap bulannya. Nasib anak emas, ya, seperti ini. Tak bisa pergi sendiri. Harus ada bodyguard yang menemani.
Namun, bukan hanya itu saja, pekerjaan Aa juga jadi terhambat. Sudah beberapa kali Aa tidak mengajar kalau demamnya kambuh. Pernah Aa nekat pergi ke kampus saat demam, hasilnya dia pingsan di kelas. Menggegerkan seluruh penjuru kampus. Sampai-sampai aku terpaksa datang ke kampus dan berakhir bertemu dengan Kak Rain. Padahal sudah mati-matian aku menghindarinya.
Aku benar-benar khawatir terjadi sesuatu pada Aa. Aku merasa ... entah. Sepertinya sakit Aa bukan sakit biasa. Bukan aku mendoakan, tapi entah kenapa aku berpikir demikian.
Ah, semoga firasatku salah.
"Aa ...." Aku menggoyangkan bahu Aa pelan. Kakakku itu sedang meringkuk di bawah selimut.
Aku menghela napas saat tidak ada reaksi darinya. Lantas menempelkan tangan ke keningnya. Panas. Padahal aku sudah mengompresnya tadi.
"Gimana Aa, Dek?" Ayah datang sambil membawa plastik kecil. Mungkin obat yang baru dibeli dari apotik. Selama ini, Aa hanya meminum obat dari apotik karena tak mau dibawa periksa ke dokter.
"Masih panas, Yah."
"Ya sudah, jangan diganggu. Biar Aa istirahat."
Aku mengangguk. Sebelum ke luar, aku membisikkan doa ke telinga Aa. "Allahumma rabban nasi, adzhibil ba’sa. Isyfi. Antas syafi. La syafiya illa anta syifa’an la yughadiru saqaman."
Gagal sudah. Tadinya aku ingin mengobrol dengan Aa walau sebentar. Rasanya rindu sekali. Ingin tertawa, bercanda, dan berbagi cerita seperti dulu. Aku juga rindu panggilan bocahnya. Aku rindu dia yang suka mengacak rambutku sampai berantakan. Dan ... rindu pelukannya.
Selama Aa sakit dia jarang sekali mengobrol denganku. Begitu juga dengan Ayah dan Mama. Lagi pula bagaimana mau berbicara, gusinya saja sering berdarah. Apalagi sekarang di tambah sariawan dalam mulutnya. Bukan hanya satu, tapi banyak. Pastinya tak akan enak berbicara kalau seperti itu.
***
Saat raga sudah tak mampu menanggung beban, maka ia akan tumbang dengan sendirinya. Begitulah yang terjadi pada Aa saat ini.
Aku menjerit histeris melihat Aa yang tengah tersungkur di atas kasur sambil memegangi kepalanya. Mulutnya meracau tak jelas dengan mata tertutup.
Tadinya ingin mengajak Aa untuk berkumpul bersama seperti biasa, tapi aku malah mendapatinya yang membuat hatiku luluh lantak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Aku Jatuh Cinta
Romance"Jika dua insan saling menyukai sebelum halal, lalu sama-sama menunjukkan rasa yang pada akhirnya memancing perbuatan dosa. Itu bukan cinta, tapi nafsu."