Cobaan

4 0 0
                                    

Minggu pagi.

Aku sudah siap menggunakan gamis bermotif bunga sakura dengan jilbab pink polos menutup dada. Sebelum ke luar kamar, sekali lagi aku mematut diri di depan cermin. Terlihat seorang gadis dengan mata bulat dan hidung kecil. Pipi sedikit cubby serta bibir tipis tengah tersenyum di sana. Ditambah badan kurus ... eh, ralat! Bukan kurus, tapi langsing.

Kurus itu panggilan Aa untukku selain 'bocah'. Menyebalkan memang. Tapi kenyataannya memang seperti itu. Makanya aku lebih senang menyebutnya langsing karena itu menambah kesempurnaan keindahan seorang wanita.

Aduhai ... percaya diri boleh dong, ya.

Setelah dirasa semua rapi, aku berjalan ke luar kamar. Rasanya sudah tidak sabar ingin pergi. Tentu saja. Ini kegiatan sebulan sekali menghabiskan hari di luar, jadi wajar kalau aku begitu menantikannya.

Sampai di ruang tamu, tak kutemukan Aa. Biasanya kakakku itu sudah lebih dulu siap, atau malah mengetuk-ngetuk pintu kamarku karena aku kelamaan dandan.

Aku berbalik menuju kamar Aa. Saat hendak mengetuk pintu, samar-samar aku mendengar suara dari dalam. Seperti suara Mama.

Kubuka pintu segera. Seketika aku tercengang melihat pemandangan di depan mata. Kulihat Aa menutup mulutnya dengan handuk. Terlihat noda darah di beberapa bagian handuk itu.

Belum sempat aku mengeluarkan suara, Mama yang duduk di samping Aa lebih dulu berkata, "Dek, jalan-jalannya ditunda, ya. Kasihan tuh, Aa, gusinya berdarah. Banyak lagi."

Gusi berdarah? Kenapa bisa berdarah?

"Sejak kapan, A?" Aku bertanya seraya mengempaskan bokong di atas kasur di samping Aa. Kini Aa diapit oleh dua wanita cantik di rumah ini.

"Mwmwm mwmwmw ...." Aa bergumam tidak jelas karena mulutnya tertutup handuk.

"Belum lama, Dek," sahut Mama sambil berlalu ke luar.

Aku meringis saat membentangkan handuk yang menjuntai ke bawah. Banyak noda darah di sana. Kemudian aku berpindah memperhatikan wajah Aa yang begitu pucat serta kening yang berkeringat.

Kuusap kening Aa yang berkeringat itu dengan ujung baju. Seketika jantungku berdetak kencang saat tanganku menangkap hawa panas pada keningnya.

"Aa demam?"

Aa mengangguk, sementara aku masih menempelkan punggung tangan ke keningnya.

Ya Allah ... Apa ini akibat dari gusi berdarah? Atau karena demam gusinya jadi berdarah?

Aku tak tega melihat Aa seperi itu. Pelupuk mataku memanas. Aa itu jarang sakit, berbeda dengan aku. Jadi rasanya aneh saja kalau tiba-tiba dia sakit begini.

"Aa ke dokter, yuk." Aku mengiba sambil memegangi tangannya. Aa terdiam sambil memejamkan mata.

"Aa ...." Aku menggoyang-goyangkan lengannya. Berharap Aa mau mengikuti ajakanku.

Aa membuka mata kemudian mengusap kepalaku. "Nggak apa-apa. Paling Aa kecapean," ucapnya sambil melepas handuk yang sedari tadi menempel.

Kulihat bibirnya begitu kering, terdapat noda kemerahan bekas darah di sana.

"Biarin Aa istirahat dulu, Dek," ucap Mama sambil menyelimuti tubuh Aa yang sudah berbaring di atas ranjang.

Memangnya kecapekan, demam, dan gusi berdarah saling berhubungan?

***

Aku berjalan gontai saat memasuki gerbang. Tadinya aku mau izin tak masuk tahfiz sebab ingin menemani Aa. Namun, kakakku itu terus memaksa supaya aku tetap tahfiz. Ck! Dia itu tak mengerti kalau aku sedang khawatir. Aku jadi tak bisa fokus kalau begini.

Biarkan Aku Jatuh Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang