Malam itu bunyi pendingin ruangan terasa begitu pekat di telinga Arin, suara bising yang biasa mengganggunya tak lagi ia dengar. Itu aneh, perang tidak mungkin berhenti begitu saja tanpa gencatan senjata. Arin yang penasaran berjalan keluar dengan mengendap, menuruni satu-persatu anak tangga yang mengantarnya menuju sebuah ruangan yang tak pernah ia injak lantainya.
Arin menempelkan telinganya di pintu kayu, suara familiar mulai masuk memenuhi ruang telinganya.
"Kita sudah tidak punya apa-apa lagi Mas, aku capek bekerja, kenapa kau tidak lanjut usaha lagi?"
"Ra, aku sudah bangkrut habis-habisan, tidak ada teman yang mau meminjamiku uang untuk modal."
"Selalunya begitu, kamu ini pemalas. Aku tidak bisa hidup begini terus Mas. Setiap hari harus aku yang bekerja keras menanggung beban rumah tangga kita, sedangkan kau pengangguran, sekarang lihat karena kemauanmu tinggal di kontrakan mewah meski kita sudah miskin, aku harus berhutang pada bosku terus-terusan. Aku malu Mas."
Perdebatan di ruangan itu tidak dengan suara meninggi. Pantas Arin tidak bisa mendengarnya, jeda cukup panjang, hanya helaan napas berkali-kali yang mereka lakukan.
"Kau mau aku jual diri?"
"Rara, jangan gila kamu!"
"Kalau begitu bekerjalah Mas, jangan begini terus, kalau tidak mau bekerja setidaknya jangan tinggal di kontrakan sebagus ini, aku kesusahan membayarnya."
"Ra, kita bisa tetap tinggal di sini atau bahkan bisa pindah ke tempat yang lebih mewah lagi."
"Jangan ngawur kamu Mas!" kali ini suara wanita itu mulai meninggi.
"Kita punya aset untuk dijual, kau tahu itu?
"Apa?"
"Arin."
Jantung Arin berdetak cepat, tiba-tiba telinganya tidak berfungsi dengan baik, gadis itu menggeleng pelan, pasti ia hanya salah dengar.
"Anak itu? Kau sudah gila?!"
"Rara, dengarkan dulu. Dia bukan anak kandung kita, kau tidak bisa memberiku anak, ingat itu? Kita mengadopsinya dari rumah sakit karena ibunya kabur akibat tidak bisa membayar tagihan. Anak itu juga tidak berguna ternyata, lalu apa salahnya kalau kita jual?"
Wanita itu belum merespon, ia masih terdiam.
"Coba pikirkan sebanyak apa uang yang kita dapat, kita bisa membeli rumah baru seperti dulu lagi dan aku pasti akan punya pekerjaan. Tidak perlu ragu sayang, Arin sangatlah cantik pasti ia laku dengan harga mahal."
Arin membekap mulutnya sendiri, telinganya masih normal, hanya isi kepala orang tuanya saja yang tidak normal. Gadis itu sungguh tak percaya dengan percakapan yang didengarnya di ruangan itu. Arin bergerak mundur, kakinya tidak sengaja membuat suara hingga percakapan yang masih berlangsung itu tiba-tiba berhenti.
Arin memutar tubuhnya, ia harus berlari dari tempat itu sebelum tertangkap, sayangnya waktu tak berpihak pada gadis itu. Pintu lebih dulu terbuka sebelum Arin sempat kabur dan sebuah tangan mencengkeram lengannya dengan kuat.
"Mau lari ke mana sayang?" ucap laki-laki itu sambil menyeringai menatap putrinya.
***
Author NoteThis is not my first story, aku pernah buat cerita di akun lain. Kalo kalian penasaran mau baca silakan buka reading list aku. Semua yang aku taruh di reading list adalah cerita aku dari akun pertama.
Enjoy the story ya, cerita ini real dari pikiran aku sendiri jadi mohon untuk tidak melakukan plagiat dalam bentuk apapun.
Btw cerita ini mengandung unsur kekerasan, sadisme dan umpatan, jadi untuk pembaca di bawah umur mohon bijak dalam membaca. Tapi cerita ini aman because no sex in here.
Semoga cerita ini nggak bikin kalian bosen dan betah di sini. Aamiin.
Thank u and see u
Gisella Berlin 🐝
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT FOR SALE!
Mystery / Thriller[CERITA INI MENGANDUNG UNSUR KEKERASAN, SADISME DAN UMPATAN KASAR] Arin Kemala, seorang gadis yang dijual orang tuanya demi mendapat kemewahan yang hilang. Mungkinkah Arin bisa pergi dari tempat itu? Atau justru harus kehilangan satu-persatu organ t...