3. See You In Hell

44 6 6
                                    

"Fuck you!" umpat laki-laki itu sambil berteriak setelah menyadari mereka tertangkap. Laki-laki itu berlari dan mendorong salah satu hospital bed untuk menutupi pintu. Arin turut membantu mengangkat apapun yang bisa menghalangi mereka masuk ke ruangan mayat. Laki-laki itu mendorong tubuh Arin sampai terpentok benda-benda yang Arin angkat sendiri untuk menutupi pintu, napas gadis itu tercekat melihat tatapan tajam yang begitu menusuk matanya.

"Ini salahmu! Jadi kamu harus bertanggung jawab. Halangi pintu ini, terserah dengan cara apa, jangan sampai mereka masuk sebelum aku berhasil menemukan kuncinya, kau mengerti?!"

Arin mengangguk tanda mematuhi perintah laki-laki itu, pintu di sebelahnya mulai digedor berkali-kali bahkan di tendang, Arin kelabakan mencari benda-benda yang dapat menghalangi mereka, gadis itu kehabisan akal, ia bersandar di pintu guna menahan mereka, meski gadis itu tahu mungkin usahanya sia-sia.

Arin menjerit saat mereka mulai mendobrak pintu, gadis itu tidak punya cukup tenaga untuk melawan mereka, sedangkan laki-laki itu tak kunjung menemukan kunci. Arin menatap laki-laki itu, ia menendang barang di depannya untuk memberi laki-laki itu kode agar menoleh.

"Cepatlah brengsek!" teriak Arin membuat laki-laki itu menoleh sebentar dan fokus lagi mencari kunci.

Arin merasakan dobrakan di pintu perlahan menghilang, gadis itu merasa aneh, namun di sisi lain ia bisa bernapas lega karena tak lagi menahan pintu dengan sisa tenaganya. Arin menatap laki-laki yang kini tersenyum cerah sambil memegang kunci ruang mayat, laki-laki itu mencoba semua kunci yang ada di tangannya, sampai pada bunyi klek pintu lekas terbuka. Terbitlah senyum di wajah Arin, laki-laki itu mulai menarik gagang pintu. Arin berteriak girang karena ia akan bebas sebentar lagi. Gadis itu terlalu bersemangat sampai lupa kebebasan dan kematian mereka hanya berjarak satu centi.

Laki-laki itu melebarkan pintu keluar dari ruang mayat, sayangnya ia harus menelan pil pahit saat wajahnya bertemu dengan todongan pistol yang dipegang oleh ayahnya sendiri. Pintu yang sejak tadi Arin jaga juga berhasil terbuka dengan sekali dobrak, membuat Arin terpental dan jatuh di lantai. Gadis itu lekas bangun dan berjalan mundur, terus mundur sampai tubuh Arin menabrak punggung laki-laki itu. Mereka terkepung, mereka kalah, kalah telak.

"Hei bujang! Bukankah Ayah menyuruhmu untuk memperkosa gadis itu?" kata laki-laki itu sambil menodongkan pistol ke arah putranya.

"Tentu saja Ayah, aku sudah melakukannya, lihat, aku bertelanjang dada sekarang."

"Lalu kenapa bisa di sini? Kau mau menipu ayahmu dengan menyalakan video unduhan internet? Bodoh! Benar-benar bodoh!"

Laki-laki itu menarik tubuh Arin, didekapnya gadis itu erat-erat, "Ayah mau gadis ini? Ayo ambil, silakan Ayah."

"Mungkin anak buah Ayah mau membantu mengambil gadis ini," ucap laki-laki itu membuat Arin melebarkan matanya seketika, gadis itu rupanya masuk perangkap yang sudah tersusun begitu rapi. Gadis itu tersenyum getir, dugaannya sejak awal benar. Mulut laki-laki memang 99 persen berbisa.

Laki-laki itu mulai menyerahkan Arin, gadis itu tak bisa melawan, mungkin akhir hidup Arin memang harus diambil organ tubuhnya dan menjadi mayat mengenaskan sama seperti mayat yang telah dilihatnya atau mungkin ia akan menjadi seorang pelacur yang harus melayani tuannya setiap malam. Gadis itu tak berbuat apapun, ia memejamkan matanya, merasakan setitik air mengalir dari pelupuk matanya.

Arin merasakan tubuhnya tak berpindah, gadis itu justru mendengar benda jatuh begitu keras sampai laki-laki itu melepaskan tubuhnya. Arin membuka mata dan ia menyesal tak melihat aksi laki-laki itu menumbangkan anak buah ayahnya. Laki-laki itu mengunci tubuh ayahnya dengan tangan, pistol milik anak buah ayahnya menempel di pelipis laki-laki tua itu.

Arin menatap sekelilingnya, seluruh anak buah laki-laki tua itu menodongkan pistol ke arahnya.

"Berani kalian tembak gadis itu, kutembak laki-laki ini!"

Laki-laki itu dengan gesit mengambil pistol dari tangan ayahnya dan melemparnya kepada Arin, gadis itu menangkapnya, tangannya bergetar karena tak pernah memegang pistol, apalagi yang ukurannya lebih besar.

Lelaki tua itu tertawa, menertawakan Arin yang lembek seperti bubur, "lihat perempuan itu, memegang saja dia tidak bisa apalagi menem—"

DOR!

Bunyi tembakan itu membuat lelaki tua yang meremehkan Arin menatap lantai bolong di sampingnya, kepalanya bergerak perlahan menatap Arin yang kini menegakkan tubuhnya dengan percaya diri.

"I watch thriller movie dude!"

Anak buah lelaki tua itu mulai mengambil posisi untuk menembak Arin, gadis itu kebingungan harus menodong pistol ke arah siapa, biasanya di film thriller yang ia tonton pistol diarahkan pada dalang permasalahan, tapi diposisi ini dalangnya sudah tak berkutik di tangan anaknya sendiri.

"Jangan tembak gadis itu! Kuperintahkan kalian letakkan pistol!"

Arin mengarahkan pistol secara bergantian, ia siap menarik pelatuk kalau sampai mereka menembak kakinya, asal tidak menembak Arin dibagian dada dan kepala. Jika iya maka tamatlah Arin detik itu juga.

"Letakkan pistolnya atau kutembak laki-laki ini?!"

"Kau tega membunuh ayahmu nak?" ucap lelaki tua itu dengan nada sedih yang dibuat-buat agar anaknya merasa iba. Laki-laki itu tidak menggubris, ia justru menekan pistol di kepala ayahnya.

"Hei, bukankah laki-laki bajingan ini belum menggaji kalian? Coba pikirkan berapa juta kalian rugi jika aku membunuhnya?"

"Dia tidak akan menembak ayahnya sendiri, tenanglah." lelaki tua itu mencoba memperkeruh suasana negosiasi antara laki-laki itu dan anak buahnya. Mereka bimbang, bingung siapa yang harus dipercaya.

"Tentu saja aku, akulah bos kalian."

Arin melirik ke arah laki-laki itu, wajahnya begitu tenang menghadapi kekalahan yang sengaja diulur olehnya.

"No, i'm the big boss now."

DOR!

"Akhh..."

***

Waw who's dead?

Arin? Laki-laki itu? or lelaki tua?

Komen ya

Love from great author

Gisella Berlin 🐝

NOT FOR SALE!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang