10. I'll Be Your Sunset

32 4 7
                                    

Arin dan Kafka berjalan menyusuri koridor sekolah secara beriringan, misteri tentang siapa orang dibalik leher Kafka yang masih biru dan boneka darah Arin menjadi salah satu alasan mengapa wajah dua orang itu datar dan tidak bersemangat. Gelang hitam yang Arin temukan di atas rooftop terasa sia-sia karena tak membantunya menemukan pelaku. Gadis itu memijit pelipisnya, kepala Arin tiba-tiba pusing, ia menghentikan langkahnya di tengah lorong sekolah.

"Kamu sakit, Sel?" tanya Kafka sambil melirik ke arah beberapa siswa yang melewati lorong. Kafka terus menatap punggung mereka sampai menghilang dari pandangannya.

"Gimana Rin?" ucap Kafka setelah beberapa siswa itu meninggalkan mereka, laki-laki itu menempelkan punggung tangannya untuk mengecek suhu tubuh Arin.

"Nggak apa-apa kok, aku cuma pusing mikirin siapa pelakunya."

"Udah, jangan terlalu dipikirkan. Yang pasti dalang dibalik ini semua adalah Ayah, tapi orang suruhan Ayah di sekolah ini aku masih belum tahu."

Arin menggeleng pelan, ia mencoba menghapus sesuatu yang meresahkan di kepalanya, "kamu jangan jauh-jauh dari aku ya, aku khawatir, belakangan ini kamu lebih diincar daripada aku."

Kafka terkekeh mendengar ucapan gadis itu, tangannya terulur untuk mengacak-acak rambut Arin. Gadis itu mengelak, ia tak mau rambutnya yang sudah rapi jadi berantakan, keduanya tampak saling bercanda seolah masalah di depan mata itu tertutupi tiba-tiba.

"Eh ada Kris sama Selena di sini," keduanya menoleh secara bersamaan, menatap Rio dengan dua temannya yang sedang berjalan memamerkan wajah angkuhnya.

Rio memicingkan matanya ketika berdiri tepat di depan Kafka, jarinya menunjuk bekas luka di leher Kafka sambil tersenyum geli, laki-laki itu menoleh ke arah dua temannya, mereka saling berbisik kemudian tertawa.

"Bekas dicipok Selena ya Kris?" ketiga laki-laki menertawakan Kafka, sedangkan yang ditertawakan sendiri memilih diam, Kafka menggenggam tangan Arin dengan lembut, laki-laki itu tahu Arin sedang mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Arin menepis tangan Kafka dengan kasar, gadis itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku seragamnya dan dilemparnya benda recehan itu tepat di wajah Rio.

"Buat beli mulut kamu yang murahan itu!"

Rio menunduk, dipungutnya tiga buah koin yang baru saja di lempar Arin. Laki-laki itu menyunggingkan senyumnya, lalu balas melempar Arin sampai satu koin mencolok mata gadis itu. Arin memundurkan tubuhnya akibat terkejut, ia mengucek mata kirinya yang setengah perih.

"Selena," panggil Kafka khawatir, laki-laki itu menatap Rio dengan tatapan tajam.

"Mau apa kalian sebenarnya?!" teriak Kafka yang mulai kesal dengan kelakuan Rio dan teman-temannya.

"Join club renang kita."

"Seriously? Cuma mau ngajak masuk club renang tapi kalian kasarin Selena?"

"Revisi, bukan kita tapi Selena duluan yang kasar." ucap Justin yang diangguki cepat oleh Rio.

"Sorry buat itu."

"Mulut cowok ini yang kurang ajar duluan!" teriak Arin sambil menunjuk Rio, laki-laki disebelah Arin segera menurunkan tangan gadis itu agar tidak terjadi perdebatan berkepanjangan.

Kafka menghela napas berat, ia merampas kertas di tangan Leon, dibacanya kertas pamflet itu dengan teliti, rupanya mereka sedang mencari siswa untuk diajukan dalam seleksi lomba renang tingkat nasional.

"Ditunggu di ruang ekskul," ucap Rio lalu meninggalkan mereka berdua.

Kafka menangkupkan kedua tangannya di wajah Arin, laki-laki itu menahan tangan Arin agar tidak mengucek matanya terus. Kafka mendekatkan wajahnya, ia meniup mata Arin yang sedikit memerah.

NOT FOR SALE!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang