Arin berjalan menyusuri koridor sekolah sambil sesekali bersenandung pelan, gadis itu mencoba untuk bersantai meski degup jantungnya bermain luar biasa. Arin merasa aneh tiap kali bertemu Kafka, tangannya akan gemetar, panas dingin, dan dadanya sesak, padahal laki-laki itu sudah tinggal bersamanya berminggu-minggu bahkan telah resmi menjadi pacarnya. Langkah Arin semakin dekat, laki-laki itu kini sedang berdiri di samping papan mading dengan senyum hangat yang nampak seperti secangkir macchiato.
"Ada yang mau tampil nih, berbunga-bunga banget kayanya."
Arin tak menggubris ucapan Kafka, gadis itu justru salah fokus dengan benda yang Kafka sembunyikan dibalik tubuhnya. Arin mencoba untuk mengintip, gadis itu tersenyum saat matanya menangkap benda cokelat berbulu yang menggemaskan.
"Kamu pasti mau kasih boneka itu buat aku ya?"
"Enggak, sok tahu kamu."
Arin mendengus kesal, ia memalingkan wajahnya sambil cemberut. Kafka yang tidak tahan melihat kelucuan di wajah pacarnya itu segera merengkuhnya ke dalam pelukan dan mengigit pipi gembul gadis itu.
"Kafka!" ucap Arin setengah panik, gadis itu menengok ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada yang melihat kelakuan laki-laki itu.
"Ini sekolah jangan gitu ih."
"Maaf-maaf, ini buat kamu."
Arin menatap boneka berbulu cokelat itu dengan mata berbinar, diusapnya bulu lembut itu dengan hati-hati. Saat Arin melihat mata boneka itu, ia seperti menatap biji mata teduh milik Kafka di dalamnya, "Kafky!" ucap Arin berteriak senang sambil memeluk boneka itu erat-erat.
"Kafky? Siapa itu?"
"Nama boneka ini," Arin mencubit pipi boneka itu dengan gemas, ia bahkan menciumnya berkali-kali.
"Kenapa Kafky? Kenapa nggak Chucky aja?"
"Nggak mau, emangnya kamu pikir aku nggak tahu kalo Chucky nama boneka hantu. Lagian bagus Kafky."
"Kok yang dicium cuma Kafky, Kafka enggak?"
Arin merasakan pipinya memanas, gadis itu tidak sungkan untuk memukul lengan kokoh Kafka dengan kasar, laki-laki itu terkekeh kecil, ia sangat menyukai pipi merah Arin, tak jarang Kafka khilaf dan menggigit pipi gadis itu.
"Rin, aku gigit lagi ya?" pinta Kafka bersiap mendekatkan wajahnya ke pipi Arin. Namun laki-laki itu harus berhenti saat seorang gadis dengan seragam cheerleaders menghampiri mereka. Arin menoleh merasakan seseorang menyentuh pundaknya pelan, gadis itu tersenyum kecil saat biji matanya menatap orang itu.
"Sel, udah di tunggu Dinda di lapangan."
Gadis itu mengangguk pelan, ia beralih menatap Kafka, di luar kesadarannya gadis itu mengigit bibir bawahnya perlahan membuat Kafka panas dingin dan menggeleng cepat, tangannya menyentuh bibir Arin dan mengusapnya.
"Don't do that, aku bisa khilaf kapan aja."
"Mesum!" ucap Arin sambil mendorong dada Kafka, laki-laki itu tertawa keras, ia mengikuti gadisnya dari belakang sambil senyum-senyum membayangkan pipi merah Arin yang menjadi favoritnya.
Kafka dan Arin berpisah di dalam gedung, gadis itu sudah bergabung dengan tim cheerleaders sedangkan Kafka duduk di tribun penonton. Laki-laki itu mengedarkan pandangannya menyapu seluruh siswa yang menjadi partisipan di gedung indoor dengan nuansa biru tua metalik. Kafka menarik napas dalam-dalam, ia merasa was-was, isi kepalanya selalu tentang kejutan tak terduga yang mungkin terjadi di tengah-tengah pertandingan nanti. Namun Kafka segera mengenyahkan pikiran buruk itu, kedatangannya kemari untuk mensupport Arin, urusan jika tiba-tiba muncul hal buruk, laki-laki itu hanya bisa berdoa, semoga keberuntungan berpihak padanya.
Bunyi peluit panjang menghidupkan pertandingan itu, riuh tepuk tangan dan sorak-sorai kedua tim menggema memenuhi gedung biru tua metalik yang catnya masih nampak segar. Kafka menatap lurus ke arah formasi tim cheerleaders sekolahnya, Arin bukan leader tapi posisinya lebih mencolok dari leader-nya sendiri. Salah besar jika Dinda mengajak Arin masuk ke dalam timnya hanya karena mengincar sebuah tas glamor yang selalu dijinjing Arin ke sekolah.
"Selena...."
"You did your best, damn it!"
Kafka menoleh saat ia mendengar suara tak asing memanggil-manggil nama samaran untuk pacarnya. Laki-laki itu cukup terkejut melihat Leon mendukung Arin dengan gaya yang terlalu bersemangat, bahu Justin bahkan diguncang Leon kuat-kuat sambil terus berteriak kagum ke arah Arin.
"Selena! Kamu keren!"
"Watch your fucking mouth!" ucap Kafka setengah berteriak, Leon tidak mendengar teriakkan Kafka karena gedung itu terlalu ramai. Laki-laki itu berdiri dari duduknya dan berniat menghampiri Leon untuk menyumpal mulut sialannya. Namun sebelum Kafka berpindah tempat, suara tembakan berhasil membuatnya berhenti.
Kafka mengedarkan pandangannya, pertandingan basket di bawah sana kacau, mereka berlarian menuju pintu evakuasi. Laki-laki itu bahkan tidak bisa melihat di mana gadisnya berada. Kafka berlari melawan arus, ia menerobos kerumunan orang-orang yang mencoba menyelamatkan diri, matanya dengan teliti mengamati sekitar, lalu pandangannya jatuh pada seorang gadis yang tergeletak dengan dada bercucuran darah.
"Fuck!" teriak Kafka sambil berlari menghampiri gadis itu.
"Rin, hei hei di sini, buka matanya sayang." ucap Kafka menepuk-nepuk pipi Arin agar gadis itu tetap terjaga. Laki-laki itu mencopot jas almamater sekolahnya, digulungnya almamater itu lalu ditekan tepat di dada Arin yang terluka.
"Ka, sakit."
"Iya sayang, bertahan ya, buka matanya terus please."
Kafka menggendong Arin keluar dari GOR basket, darah gadis itu berceceran di lantai koridor sekolah. Kafka mempercepat langkahnya membawa gadis itu menuju parkiran mobil, diletakkannya Arin secara hati-hati ke jok mobil belakang. Laki-laki itu menjadikan tasnya sebagai sandaran kepala Arin. Napas gadis itu melemah, Kafka panik bukan main. Ia melajukan mobilnya membelah jalanan kota.
"Sayang aku tahu itu sakit banget, tapi aku mohon tekan lukanya sayang, jangan kasih darah kamu keluar terlalu banyak, oke? Arin sayang kamu denger aku kan?"
"Arin?! Please sayang buka mata kamu!"
"Kafka...sakit...tolong."
"Rin, please. Bertahan demi aku sayang."
"Rin?!"
"Arin?!"
"Jangan tinggalin aku Rin, bangun!"
"Arin!"
Kafka kehilangan kendali atas mobilnya, persetan jika ia harus mati karena kecelakaan. Lebih baik begitu daripada ia hidup sendiri tanpa Arin. Kafka mengguncang tubuh gadis di belakang sana dengan satu tangannya. Arin tidak lagi menyahuti ucapan Kafka, laki-laki itu kalut dengan keadaan, air matanya terus mengalir deras, bibirnya tiada henti memanggil nama Arin meski tak akan mendapat jawaban.
***
Sorry guys part ini jelek bgt, amburadul ga karuan.
Janji part selanjutnya bakal lebih keren.
Love u all
Gisella Berlin
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT FOR SALE!
Mystery / Thriller[CERITA INI MENGANDUNG UNSUR KEKERASAN, SADISME DAN UMPATAN KASAR] Arin Kemala, seorang gadis yang dijual orang tuanya demi mendapat kemewahan yang hilang. Mungkinkah Arin bisa pergi dari tempat itu? Atau justru harus kehilangan satu-persatu organ t...