5. The Weird Old Man

36 4 4
                                    

Arin mengerjabkan mata saat bau khas peternakan sapi masuk ke dalam indera penciumannya, gadis itu bangun dan merintih kesakitan ketika mencoba menggerakkan satu kakinya. Ia menatap sekelilingnya, pemandangan sapi makan rumput, laki-laki paruh baya dengan kapak di tangannya, dan laki-laki itu. Dia sedang berdiri mengamati sapi-sapi sambil sesekali mengelus kepala hewan itu.

"Kita di mana?" tanya Arin berhasil membuat dua laki-laki itu menoleh bersamaan. Arin meringis merasakan sensasi sakit di sekujur tubuhnya saat ia mencoba berdiri dari duduknya.

"Jangan banyak bergerak dulu Arin, kamu masih sakit."

"Arin?" ucap gadis itu menatap heran laki-laki bertelanjang dada yang duduk di sampingnya.

"Kamu lupa namamu sendiri?"

"Bukan, maksudku tahu darimana kalau namaku Arin?"

Laki-laki itu tersenyum sambil membuka perban yang melilit di kaki Arin, gerakan refleks saat gadis itu tersadar rupanya membuat darahnya tembus. Arin mengamati setiap gerak-gerik laki-laki itu, ia begitu cekatan mengganti perban Arin dengan yang baru.

"Dari seragam sekolahmu," laki-laki itu mengikat tali perbannya terlalu kencang membuat Arin refleks memegangi kakinya, "maaf. Bagaimana kondisimu sekarang?"

"Lumayan."

"Kalau begitu kita bisa pergi dari sini secepatnya."

"Ke mana?"

"Ke kota."

"Apa?!" pekik Arin membuat laki-laki itu sedikit berjingkat karena suara Arin yang nyaring.

"Hari ini?" tanya Arin memastikan ucapan laki-laki itu.

"Tentu saja," laki-laki itu menatap pria paruh baya yang sejak tadi diam dengan kapaknya, tangannya terulur sampai kapak itu berada dalam genggamannya sekarang.

"Tidak ada kunci untuk membuka borgol, hanya ada kapak. Bawa ke sini tanganmu."

Arin menatap kapak itu ngeri, bentuknya yang besar bisa memotong tangan Arin menjadi dua. Gadis itu menggeleng cepat, laki-laki di depannya begitu percaya diri bisa berhasil, tapi nasib Arin siapa yang tahu? Gadis itu tidak mau kehilangan salah satu tangannya.

"Percayalah, ini akan berhasil. Kau mau tanganmu tersiksa terus dengan borgol itu?"

Arin melirik ke arah tangannya yang lecet dan lebam, rasanya memang sakit, gadis itu kembali menatap laki-laki yang kini tengah menggoyangkan kapak besar itu, ia seperti memiliki napsu memenggal tangan Arin.

"Kau pernah membuka borgol dengan kapak sebelumnya?" tanya gadis itu mencoba mengulur waktu agar laki-laki itu tak menatap borgol di tangannya layaknya mangsa makan siang.

"Hmm, aku sering membantu Ayah memotong kayu."

Mata Arin terbelalak, bukan jawaban itu yang diinginkannya. "ini tanganku bukan kayu bodoh!"

"Get the fuck out of here!" teriak laki-laki itu lalu mengayunkan kapak di tangannya ke arah borgol yang melekat di tangan Arin. Gadis itu memejamkan matanya dengan erat. Persetan jika tangannya terbelah dua ia akan melempar satu potongan tangannya ke arah laki-laki itu.

"See? Borgolnya terbuka."

Arin merasakan tangannya bisa digerakkan, gadis itu membuka matanya perlahan, tangannya bebas, baru kali ini ia melewati aktivitas tanpa melibatkan darah di dalamnya. Gadis itu kegirangan, ia menatap laki-laki itu seperti mengucapkan terima kasih meski bibirnya hanya membentuk senyuman.

Laki-laki itu membawa kapak di tangannya kembali pada sang pemilik. Pria tua dengan rambut hitam setengah beruban, memakai rompi dan kulitnya hitam gelap. Pria itu menyambutnya sambil mengangguk. Dilihat dari gaya penampilannya, pria tua itu tampak seperti seorang peternak sapi yang mandiri dan handal, buktinya sapi-sapi di kandang ini sangat segar dan gemuk.

NOT FOR SALE!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang