Ruangan ukuran 4×4 dengan lantai kotor dan tembok berlumut itu menyisakan dua orang di dalamnya, Arin dan pria yang saat ini membuka kaosnya, memperlihatkan dada bidang, bisep kekar serta bekas pukulan akibat membangkang perintah ayahnya. Arin menggeleng pelan, bukan waktunya mengagumi laki-laki yang akan memperkosanya hari ini.
Laki-laki itu melangkahkan kakinya untuk mendekat, matanya menyapu setiap inci dari wajah Arin, ia berjongkok dibawah kaki gadis itu dan tangannya mulai bergerak. Arin menutup matanya dengan napas tak beraturan, bibir gadis itu bergetar sambil memohon agar pria itu tak menodainya.
"Tenang, aku hanya membuka tali."
Arin membuka matanya perlahan dan melihat laki-laki itu sedang berusaha keras melepas tali yang diikat kuat ditubuhnya, "aku tidak akan melakukannya, jangan takut."
Arin mengamati laki-laki itu, meski rambut berantakan penuh darah kering yang menempel di pelipisnya dan memiliki luka lebam di sekujur tubuhnya, ia masih setia berjongkok di depan Arin untuk membuka tali, mata laki-laki itu terpancar sesuatu yang membuat Arin percaya begitu saja, tapi gadis itu tetap was-was, tidak semua ucapan laki-laki dapat dipercaya, 99 persen berbisa sisanya mungkin modus belaka.
"Aku sudah tertangkap ayahku karena membebaskan seorang gadis, kalau ayahku tahu aku membebaskan satu gadis lagi mungkin aku akan mati, jadi kita akan kabur bersama."
Arin berdiri dari kursi kayu yang sejak tadi didudukinya setelah tali itu terlepas. Laki-laki itu menyentuh kedua lengan Arin hingga membuat gadis itu terpaksa menatap biji mata kopi yang teduh namun penuh misteri itu.
"Kamu nggak apa-apa?"
Arin mengangguk pelan, laki-laki itu berjalan mundur, matanya mengamati langit-langit ruangan persegi berukuran 4×4 yang hampir sama dengan ukuran ruang tamu kontrakannya.
"Kamu punya ponsel?" gadis itu mengangguk lagi, kebungkaman Arin membuat laki-laki yang belum diketahui namanya itu berspekulasi bahwa gadis di depannya bisu.
"Berikan padaku."
"Di saku rok," ucap Arin akhirnya membuka suara.
Laki-laki itu menatap borgol di tangan Arin, gadis itu jelas tak bisa mengambilnya dengan tangan. Laki-laki itu terlihat ragu, ia tak mau dianggap melakukan pelecahan tapi waktu mereka terbatas, ia harus keluar dari tempat gelap itu sebelum ayahnya masuk.
"Maaf," ucap laki-laki itu terpaksa merogoh saku rok sekolah milik Arin.
"Kau mau apa?" tanya Arin sedikit terkejut dengan gerakan gesit laki-laki itu.
"Maaf, aku hanya mengambil ponselmu," ucapnya lalu membuka ponsel Arin yang tak diberi sandi itu, jarinya dengan lihai menari-nari di atas layar.
"Untuk apa?"
"Mengambil video porno di internet dan menyetelnya dengan volume penuh."
"Menjijikan!" teriak Arin yang langsung dibekap oleh laki-laki itu.
"Ini salah satu cara untuk mengelabui anak buah ayahku, mereka sedang berjaga di luar dan mereka pikir aku sedang melakukan hal bodoh itu bersamamu, kita tidak punya banyak waktu!"
Laki-laki itu menarik kursi tepat di bawah plafon rumah yang berlumut dan paling kotor, "aku akan membantumu naik ke atas, kita kabur lewat sana, tapi sebelum itu aku minta maaf karena harus menyetel video ini, kamu bisa menahan muntah sebentar kalau jijik."
Laki-laki itu menghela napas dalam-dalam sebelum mulai menekan tombol play, setelah memiliki cukup nyali ia memutar video itu, kemudian berlari dan meletakkan ponsel itu di depan pintu. Laki-laki itu naik ke atas kursi dan menggendong Arin agar bisa membuka plafon. Gadis itu kesulitan, ia hampir menyerah karena borgol di tangannya yang menyiksa, tapi karena arahan dari laki-laki itu dan suara yang menodai telinganya tak kunjung berhenti, Arin berusaha keras. Gadis itu berhasil masuk, disusul laki-laki itu di belakangnya.
Mereka berdua terus menyusuri plafon panjang, gadis itu sesekali berhenti untuk menarik napas, lalu melanjutkan merangkak sampai ia menemukan penutup plafon berbentuk jeruji besi. Arin harus membukanya karena ia yang merangkak paling depan, sedangkan lorong dalam plafon itu sangat sempit, laki-laki itu tak bisa membantunya. Arin meringis saat mencoba membuka plafon besi itu, borgol ditangannya melukainya, gadis itu bisa melihat darah menetes menghujani lantai di bawahnya. Namun hasilnya gadis itu bisa, plafon jeruji besi itu terbuka. Arin menjatuhkan dirinya hingga tubuhnya membentur lantai dengan keras.
Laki-laki itu menyusul menjatuhkan dirinya. Arin berdiri dari posisi jatuhnya dan meniup tangannya yang perih akibat borgol itu. Bau busuk tiba-tiba menjalari penciuman Arin, mata gadis itu bergerak pelan, menyapu pandangan di sekitarnya. Kain putih dan beberapa hospital bed memenuhi ruangan itu. Laki-laki itu berjalan ke arah papan yang tergantung banyak kunci. Arin menghiraukan laki-laki itu, ia menghampiri hospital bed dan merasa penasaran dengan sesuatu di bawah kain putih yang menutupinya.
Arin mulai menggerakkan tangannya yang diborgol ke arah penutup berwarna putih itu, jantungnya berdetak cepat, bau busuk semakin menyengat, Arin semakin dibuat penasaran oleh apa yang ditutupi dibalik kain itu, gadis itu menghela napas, hitungan ketiga Arin memberanikan diri.
"AAAAAAAAAA!" teriak Arin setelah membuka kain putih itu.
Rupanya kain putih itu membungkus seonggok mayat yang kaku dan membusuk, mayat itu kehilangan matanya hingga terlihat bolong, dadanya terbelah memperlihatkan lalat-lalat hijau menghinggapinya. Arin berjalan mundur, menatap hospital bed lainnya yang masih terbungkus rapi.
Dari luar gadis itu mendengar langkah kaki berlarian.
"Fuck you!" umpat laki-laki itu sambil berteriak setelah menyadari mereka tertangkap.
***
Thank u
Next?
Gisella Berlin 🐝
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT FOR SALE!
Mystery / Thriller[CERITA INI MENGANDUNG UNSUR KEKERASAN, SADISME DAN UMPATAN KASAR] Arin Kemala, seorang gadis yang dijual orang tuanya demi mendapat kemewahan yang hilang. Mungkinkah Arin bisa pergi dari tempat itu? Atau justru harus kehilangan satu-persatu organ t...