1. New Story Begin (1)

54 5 0
                                    

Arin membuka matanya ketika sinar matahari perlahan masuk dari celah jendelanya, gadis itu mengerjab pelan menyesuaikan cahaya. Arin mengamati ruangan tempatnya tidur, gadis itu menghela napas saat sadar semalam hanya mimpi buruknya. Gadis itu segera bangun dan mandi untuk berangkat ke sekolah. Pagi itu nyanyian merdu dari burung gereja bersaing dengan teriakan orang tuanya. Uang, kontrakan, pengangguran dan perabot rumah tangga lainnya turut hadir dalam list panggilan pertengkaran itu.

Arin berjalan menuruni tangga menuju meja makan, sumber suara itu berasal dari dapur. Arin mengoleskan selai cokelat di atas roti tawarnya, seketika itu juga piring terbang melayang dan hampir mengenai tangan Arin jika gadis itu tidak menghindar dengan cepat. Arin tetap bertahan di meja makan, mengoleskan selai dan melipat rotinya menjadi dua bagian.

"Bro, Sist. Berangkat dulu ya!" teriak Arin sambil berlari dengan sepotong roti di tangannya. Gadis itu sudah muak dengan pertengkaran orang tuanya, sebisa mungkin Arin menikmati hidupnya di tengah keindahan teriakan dan makian itu hingga Arin tak kenal apa itu air mata.

Gadis itu bersenandung kecil sambil menendang kerikil, mulutnya penuh roti tawar, kepala gadis itu bergeleng kanan-kiri sesekali menghafal materi sejarah yang akan diujikan nanti. Langkah gadis itu mulai memasuki gang, tiba-tiba ia berhenti. Arin menoleh ke belakang, ia merasa seseorang mengikutinya.

Arin menajamkan matanya, barangkali memang ada penguntit di belakangnya atau hanya perasaanya saja? Gadis itu melanjutkan lagi langkahnya, lima langkah maju sebuah tangan membekap mulutnya, membuat hidung Arin mencium bius yang menyebabkan kematian sementara pada tubuhnya.

Arin terbangun saat tangan kasar menyentuh pipinya, gadis itu membuka matanya secara perlahan dan melihat laki-laki tua dengan brewok legam serta otot tangannya yang timbul sedang berjongkok di depannya, senyum laki-laki itu  membuat bulu kuduk Arin meremang.

"Cantik sekali kamu."

"Siapa kamu?!" teriak Arin berusaha melepaskan tubuhnya yang terikat tali.

"Aku? Tentu saja aku yang memilikimu sekarang, kau sudah DIJUAL," ucap laki-laki itu menekan kata terakhir untuk memperjelas pendengaran Arin.

"Jangan macam-macam ya Anda!"

"Jelas harus macam-macam Arin, kau dijual untuk itu."

Lelaki itu menyalakan sebatang kretek, dihisapnya dalam-dalam lalu dihembuskannya lewat mulut, lelaki itu mengulanginya beberapa kali sampai yang ketiga kalinya hembusan itu dihempaskan di depan wajah Arin, membuat asap pekat kretek menempel di pori-porinya.

"Kita ambil apanya dulu?" tanya lelaki tua itu pada anak buahnya yang sejak tadi setia berdiri di belakangnya, "jantung, ginjal, apa kira-kira? Kalian ingin aku ambil apanya dari gadis ini?"

"Matanya bos," ucap salah satu pria berbaju hitam dengan otot kekar dan bekas sayatan luka di atas mata kanannya.

Lelaki tua itu memandang mata Arin dengan jeli kemudian tertawa sampai deretan giginya terlihat, "sempurna."

Sebatang kretek yang dihisapnya mulai habis, lelaki tua itu menginjaknya dengan kaki dan membuat lagi yang baru. Tangannya begitu lihai menabur tembakau dengan serbuk cacahan cengkih di atasnya lalu digulungnya kretek itu sampai berbentuk lonjong.

"Mungkin sebelum kucongkel mata indahmu, kamu mau menikah denganku terlebih dulu?" suara tawa keras menggelegar di ruangan itu, mereka menertawakan Arin yang tampak seperti anjing yang patuh terhadap tuannya.

Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka, seorang laki-laki yang seumuran dengan Arin diseret dan ditendang oleh laki-laki berbaju hitam yang Arin yakini anak buah dari lelaki tua itu. Pria yang kini sedang meringkuk di bawah kakinya terbatuk-batuk dan mengeluarkan darah dari dalam mulutnya.

"Dia membebaskan satu gadis Tuan."

Lelaki tua itu murka, ia memukuli pria itu hingga membuat Arin bergidik ketakutan, pemandangan di depannya sangatlah mengerikan. Dengan mulut yang penuh darah, pria itu menangis dan memohon ampun.

"Maaf Ayah, ampun. Aku khilaf."

Satu pukulan keras mendarat di perut cowok itu, darah keluar dari mulutnya lebih banyak lagi. Tubuh Arin bergetar, ia tidak pernah melihat adegan seperti ini di dunia nyata, meski tontonan film favoritnya bergenre thriller tapi gadis itu tetap tidak menyukai bau darah. Baunya membuat perut mual.

"Ma-af-kan aku A-yah," ucap pria itu terbata, bahkan anaknya sendiri pun ia habisi tanpa kata. Lelaki itu lebih pantas disebut binatang daripada manusia!

"Aku tahu sekarang siapa pelakunya! Jadi kamu yang membebaskan perempuan-perempuan itu?!" lelaki tua itu mencekik leher anaknya hingga napas pria itu tersengal, "kau membuat uangku hilang bajingan!"

Dilemparnya pria itu sampai tersungkur di lantai kotor yang menghitam karena tak pernah di sentuh sapu. Arin memejamkan matanya, menahan mual karena darah pria di bawah kakinya menyentuh kulitnya.

"Ma-af," mulut pria itu masih setia meminta maaf pada ayahnya, meski Arin tak menjamin permintaan maaf itu dikabulkan oleh lelaki tua yang kini menyandarkan tubuhnya di tembok sambil mengusap jenggotnya.

"Hmm," lelaki tua itu bergumam, matanya menerawang jauh seakan membuat rencana untuk anak laki-lakinya yang saat ini sedang sekarat.

"Ayah akan memaafkanmu dengan satu syarat."

Mendengar kesempatan hidup kedua kalinya pria itu bangun dari rasa sekarat yang melilit tubuhnya, Arin bisa melihat senyum senang dibalik wajah yang berlumur darah itu.

"Apa Ayah? Aku harus apa?"

Lelaki tua itu menatap ke arah Arin dengan seringai tajam di bibirnya, napas Arin tercekat, ia merasakan sesuatu tidak menyenangkan akan terjadi sebentar lagi.

"Perkosa gadis itu untuk ayah," pintanya membuat pria itu menatap Arin seketika.

***

Cie digantung

Bye.

Gisella Berlin 🐝

NOT FOR SALE!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang