Arin membuka matanya perlahan, gadis itu mencoba menyesuaikan cahaya di ruangan putih yang tampak familiar di matanya, Arin meraba seprai dan selimut tempatnya tidur, sangat lembut dan nyaman, gadis itu juga menajamkan penciumannya, tak ada bau obat dan karbol rumah sakit. Mungkin ini ruang VIP batinnya. Tatapan mata Arin lalu jatuh ke arah Kafka, laki-laki itu tengah menggenggam jemarinya dengan hangat, wajah Kafka yang nampak sembab kini tersenyum menatapnya.
"Welcome back Arin," ucap Kafka sambil mengusap keringat di dahinya, udara siang ini memang sangat panas hingga AC di ruangan terlihat tak berfungsi. Arin tersenyum memandang Kafka yang kegerahan, laki-laki itu bahkan setia menemaninya.
"Apa aku baru saja bangun dari koma?" tanya gadis itu penasaran, ia tidak tahu selama apa dirinya tertidur, yang pasti Arin bisa melihat ada kerinduan di biji mata laki-laki itu.
"Tidak, Rin. Kamu baru saja bangun setelah operasi selesai."
Gadis itu terdiam sejenak, pandangannya beredar mengamati ruangan persegi berwarna putih yang mirip kamarnya di apartemen, tapi rasanya tidak mungkin ia bangun di apartemennya selesai operasi. Pasti ada yang salah, Arin merasa sisa obat bius masih kuat bergelayut di kepalanya.
"Bisa tolong panggilkan dokter anestesi?"
"Kita di apartemen sekarang."
Kafka memutus kontak mata dengan Arin, laki-laki itu mengambil sesuatu dari nakas sebelah tempat tidur Arin. Tempat kecil berwarna bening dengan gumpalan di dalamnya yang gadis itu yakini adalah sebuah organ tubuh, dari bentuknya mirip seperti paru-paru.
"Aku benar-benar minta maaf Arin, aku terpaksa melakukan ini."
"Kafka kamu..."
"Ya, aku memotong paru-parumu, Rin."
Gadis itu meraba perban di tulang rusuk sebelah kiri, lalu ia menyadari satu hal, tubuhnya polos, hanya mengenakan sepotong bra dan celana dalam. Arin menggeleng pelan, gadis itu cukup terkejut dengan laki-laki yang selama ini dicintainya. Rupanya Kafka memang tidak jauh berbeda dengan laki-laki pada umumnya.
"Apa kamu tidak sanggup membayar dokter untuk membedahku? Kenapa kau lakukan sendiri? Kenapa kau memotongnya?"
"Peluru itu berada di belakang tulang rusukmu, aku harus memotong sebagian dari paru-parumu untuk mengeluarkannya, kalau tidak kamu bisa mati, Rin."
"Bukankah lebih baik begitu?" balas gadis itu putus asa.
"Rin, bukannya aku nggak sanggup bawa kamu ke rumah sakit, tapi keadaannya darurat. Jarak rumah sakit dua kali lebih jauh dari apartemen kita, aku terpaksa harus membedahmu sendirian."
"Pergilah, aku sedang tidak ingin melihatmu."
"Aku sayang kamu, Rin. Nggak mungkin aku asal bedah kamu gitu aja, kamu tahu sendiri kan pekerjaan Ayahku, tentu saja aku belajar membedah tubuh manusia dari sana. Aku yakin kau akan baik-baik saja, percayalah."
"Alasan yang bagus," ucap gadis itu sambil memalingkan wajahnya ke arah lain, "lalu di bagian menelanjangiku?"
"Banyak darah di tubuhmu, aku pikir bangun dalam keadaan penuh darah bukan hal yang bagus."
Kafka menatap gadis itu, sudut matanya berair, disentuhnya wajah pucat milik gadis itu namun dengan cepat ditangkis oleh pemiliknya.
"Arin, kamu marah?"
"Pertanyaan gila macam apa itu! Jelas kau sudah memotong paru-paruku, tentunya aku tidak bisa bernapas bebas lagi Kafka. Kau juga telah mencopoti bajuku tanpa seizinku, aku benar-benar membenci pelecehan itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT FOR SALE!
Mystery / Thriller[CERITA INI MENGANDUNG UNSUR KEKERASAN, SADISME DAN UMPATAN KASAR] Arin Kemala, seorang gadis yang dijual orang tuanya demi mendapat kemewahan yang hilang. Mungkinkah Arin bisa pergi dari tempat itu? Atau justru harus kehilangan satu-persatu organ t...