6. Selena With The Ferarri

32 4 7
                                    

Arin menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya, matanya mengedarkan pandangan menyapu kamar hotel, gadis itu terpaku saat menemukan Kafka duduk di depan meja dengan layar laptop menyala, laki-laki itu tampak fokus sampai tidak menyadari Arin telah terbangun dari tidurnya. Arin mengambil satu bantal di samping tubuhnya, dilemparnya bantal itu ke arah laki-laki yang kini sedang menyeruput kopi panas.

"Laki-laki binal!" teriak gadis itu tepat ketika bantal menyenggol kopi milik Kafka dan membuatnya sedikit tumpah. Laki-laki itu mengaduh karena panasnya kopi menyentuh kulit arinya.

Kafka menoleh dan menemukan Arin dengan wajah merahnya serta napas naik turun. Laki-laki itu meletakkan cangkir kopinya dan berjalan mendekat ke arah Arin, ia duduk di tepian kasur. Arin yang ciut nyali memundurkan tubuhnya sampai terpentok di sudut ranjang.

"Mimpi apa?" tanya Kafka santai sambil menatap iris mata Arin yang melebar.

"Kamu sudah mencicipi tubuhku dan sekarang kamu bertanya seolah tidak terjadi apa-apa?! Harusnya aku tidak percaya dengan laki-laki bajingan sepertimu! Kau menipuku dengan wajah polosmu. Kalau aku tahu sejak awal kamu cuma mau tubuhku, aku lebih memilih meludahi wajahmu daripada harus berakhir di kamar hotel seperti ini!"

Kafka diam, ia hanya memandangi Arin dan air matanya yang menggenang, hidung gadis itu memerah lucu, seperti kelinci di film kartun yang sering Kafka tonton waktu kecil dulu.

"Jangan mendekat!" teriak Arin saat melihat Kafka bergerak, padahal laki-laki itu hanya membenarkan posisi duduknya agar bisa melihat wajah Arin sepenuhnya.

"Apa semalam kamu mabuk?"

Arin menggelengkan kepalanya sambil tersenyum miris, "semua laki-laki sama aja, membodohi perempuan dan berakhir di kamar hotel!"

"Koreksi, ini apartemen."

"Mau apartemen atau hotel kamu tetap nggak bisa mengembalikan keperawananku bajingan!" gadis itu berang, ia melempari barang-barang di sekitarnya ke arah Kafka. Meski Kafka berteriak menghentikan Arin, gadis itu tidak peduli. Tangannya meraih vas di atas nakas, gadis itu memecahkannya dan melemparnya tepat ke arah kepala Kafka. Laki-laki itu tidak bisa menghindar, pecahan vas membuat kepalanya bocor, darah mulai mengalir membanjiri wajahnya.

Gadis itu kehabisan barang untuk dilempari ke arah Kafka, kondisinya yang sedang telanjang tidak memungkinkan gadis itu turun dari ranjang dan mencabik-cabik wajah laki-laki mesum itu. Arin hanya bisa menangis sambil mengeratkan selimut di tubuhnya.

"Udah marahnya?"

Arin tidak menjawab, ia memalingkan wajahnya. Gadis itu begitu jijik menatap biji mata polos Kafka yang dibutakan oleh selangkangan.

"Coba inget lagi semalam kejadiannya gimana, Rin." ucap Kafka membuat Arin memutar otaknya kembali untuk mengingat kejadian tadi malam.

"Eh," wajah gadis itu bersemu merah seketika, Arin teringat semalam Kafka memang membawanya ke apartemen, entah kenapa tiba-tiba bisa secepat itu Kafka menemukan apartemen, tapi gadis itu ingat Kafka memberinya baju ganti karena bajunya yang kotor. Arin tahu harusnya ia berganti baju dan lekas tidur. Namun karena sudah kelewat lelah dan mengantuk parah, Arin hanya mencopot semua bajunya dan beranjak tidur. Gadis itu sadar tadi ia melempari Kafka dengan baju yang semalam Kafka berikan untuknya. Ia juga teringat percakapan terakhir Kafka sebelum pergi meninggalkannya. "Kamarmu di sini, ini baju gantinya, kalau ada apa-apa ketuk saja pintu sebelah, kamarku di sana."

"Maaf," ucap Arin pelan sambil menggigit bibir bawahnya, ia benar-benar malu sudah memaki-maki Kafka dengan tuduhan yang tidak pernah dilakukan laki-laki itu.

Kafka berjalan menuju meja tempat ia berkutat dengan laptopnya saat Arin bangun tadi, tangannya membuka laci meja, mengeluarkan benda yang dibungkus plastik hingga bunyi kasak-kusuk terdengar sampai telinga Arin. Kafka berbalik lalu melempar bungkusan plastik itu ke arah Arin.

NOT FOR SALE!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang