7. Saliva Chewing Gum

27 4 4
                                    

Arin tergesa-gesa berlari menuju lorong, mengikuti para siswa berseragam navy yang sama dengannya. Permen karet di mulutnya terasa hambar, bahkan licin dan hampir tertelan. Arin menerobos kerumunan, maju di baris paling depan agar bisa melihat dengan leluasa apakah benar laki-laki itu adalah Kafka. Mata gadis itu membulat, andai ia bisa meludah sembarangan, mungkin ia sudah melepeh permen karet yang hampir menggumpal di ususnya. Laki-laki itu bukan Kafka, Arin setengah kesal  namun juga lega, kesal karena menghabiskan tenaga untuk berlari dan lega karena itu bukan laki-laki baik yang tinggal satu atap dengannya.

Arin menatap sekelilingnya, paru-parunya bernapas lepas ketika melihat Kafka dengan keadaan baik-baik saja dibalik dua orang yang kini berada di tengah-tengah kerumunan. Awalnya gadis itu enggan untuk menonton adegan pembullyan yang sama sekali tidak menarik di matanya, tapi pekat darah dari kepala siswa bertubuh pendek itu menyita perhatiannya.

Lelaki berbadan tegap dengan rahang kokoh itu menendang brutal pria pendek yang Arin duga adalah adik kelasnya, pria itu terbatuk hingga mengeluarkan darah, ia memohon ampun agar lelaki itu berhenti. Arin teringat kejadian di depannya, sama persis dengan Kafka waktu itu. Gadis itu terus menonton, kepalanya menoleh, mencari guru yang lewat, namun nihil. Tak satupun dari mereka berniat memanggil guru pula. Arin menyunggingkan senyumnya, bahkan sekolah saja ia masuk ke tempat berbau thriller.

"Ampun bang, nggak sengaja," ucap laki-laki itu mulai kesulitan bernapas.

Arin mendekati lelaki berbadan tegap itu, matanya melirik name tag yang tersemat di dada kirinya. Mario Kalingga, nama bagus untuk manusia yang attitude-nya nol. Gadis itu menyilangkan kedua lengannya, mulutnya terus mengunyah permen karet. Mata tajam laki-laki itu melunak menatap Arin, kakinya berjalan mendekat, bibirnya terangkat naik membentuk lengkungan.

"Hai..."

"Selena," ucap Arin saat lelaki itu menyipitkan matanya untuk melihat name tag Arin yang tertutupi jas.

"Kenapa Selena sayang?" tanya lelaki itu mendekatkan wajahnya ke arah Arin, gadis itu menatap Kafka, wajahnya memerah, tangannya terkepal kuat, Kafka seperti ingin menghampiri mereka, namun Arin menghentikan Kafka dengan gerakan tangannya.

Arin melirik bibir merah yang berada tepat di depannya, gadis itu menyeringai, ia menyatukan dahinya dengan dahi milik Rio sampai napas lembut Arin menerpa wajah cowok itu. Kafka mengamati Arin sambil menggelengkan kepalanya, ia tak menyangka gadis itu bermurah hati menyerahkan bibirnya pada laki-laki brengsek seperti Rio, ternyata Arin tak sepolos yang terlihat.

Lelaki itu semakin mengikis jarak antara dirinya dan Arin, ia memejamkan matanya, dengan penuh nafsu Arin membuka bibirnya, mengambil permen karet di mulutnya dan menempelkannya di rambut belakang Rio dengan penekanan. Dua lelaki di belakang Rio memekik, sebelum Rio sempat membuka matanya secara penuh, Arin menghantamkan kepalanya dengan keras di tulang rawan milik Rio hingga darah keluar dari lubang hidungnya.

"Oh shit!" teriak lelaki itu memegangi hidungnya yang bengkok dan darah yang mengucur keluar.

Arin meludah di depan Rio, bibir sucinya tak sengaja menyentuh bibir kotor Rio saat menghantam kepala lelaki itu. Arin berhasil membuat penonton di lorong itu ternganga, bahkan sesak napas.

Arin mengambil satu permen karet lagi di dalam saku seragamnya, dibukanya bungkus permen itu dengan perlahan, lalu dimasukkannya ke dalam mulut hingga terkunyah oleh gigi. Pandangan Arin turun ke bawah, laki-laki lemah itu masih duduk di lantai dan memandang Arin dengan raut wajah tak terdefinisi.

"Bangun bodoh!" ucap gadis itu menatap laki-laki lemah itu dengan tatapan tajam, kemudian berlalu meninggalkan Rio yang merintih kesakitan dan harga diri yang terkoyak habis karena Arin.

"Bangsat lo Selena!" teriak Rio menunjuk wajah Arin penuh dendam, kedua teman laki-lakinya membantu Rio mengeluarkan permen karet yang berbentuk gepeng di rambut laki-laki itu.

Arin tidak peduli, ia melangkah keluar dari lorong yang penuh sesak dengan manusia, langkah kaki Arin disambut oleh kamera yang memotret dirinya layaknya seorang model seksi berjalan di atas red carpet. Arin menghentikan langkahnya, ia menatap kamera yang mungkin akan membuat fotonya terpajang di akun lambe sekolah. Gadis itu menyeringai, ia mengacungkan kedua jari tengahnya dan menjulurkan lidahnya keluar.

Beberapa umpatan masuk begitu jelas di telinga Arin, gadis itu terus melangkah sampai paparazi berhenti memotretnya. Arin berjalan santai seolah yang baru saja terjadi adalah skenario dari tulisannya yang tak pernah dipublikasikan. Langkah gadis itu masih panjang, ia harus melewati toilet untuk sampai di ruang kelasnya. Namun, tepat di depan pintu toilet seseorang menarik tangannya, menutup pintu toilet keras-keras dan mengunci Arin dengan lengan kokohnya.

Pandangan laki-laki itu membuat iris mata Arin tak bisa berpaling, jantung gadis itu berdebar.

"Yang tadi itu bagus, tapi refleksmu kali ini kurang, Selena."

Arin tidak tahu, sejak kapan jantungnya tidak baik-baik saja saat berdekatan dengan Kafka, entah apa yang terjadi dengan gadis itu, tapi Arin menyukai panggilan Selena dari mulut Kafka.

Kafka menurunkan lengannya, memberi kesempatan agar gadis itu bisa bernapas dan bergerak leluasa.

"Nanti di apartemen aku ajarin cara gerak refleks yang baik."

"Memangnya refleksmu sebagus apa?" tanya gadis itu sambil menelusupkan tangannya di saku jas sekolah.

"Sembilan puluh sembilan persen bagus."

"Satu persennya?"

"Sisanya buat kamu," ucap Kafka menoel hidung mancung Arin dengan tangannya.

Arin berusaha menyembunyikan pipinya yang bersemu merah dengan cara keluar dari toilet dan diikuti Kafka di belakangnya. Sekolah di hari pertama berjalan normal sebelum bel istirahat berbunyi. Gadis itu pergi meninggalkan Kafka sendirian di kelas untuk pergi mencari makan di kantin, sekembalinya ia dari kantin, gadis itu tidak melihat Kafka bahkan sampai bel pulang sekolah dibunyikan.

Layar ponsel Arin kosong, tidak ada notifikasi dari Kafka. Gadis itu setengah berlari menuju tempat parkir untuk mengecek apakah Ferarri milik Kafka masih di sana, dan ternyata masih. Lalu ke mana Kafka pergi?

Arin menyusuri setiap gedung asing di sekolahnya, bibirnya memanggil nama samaran Kafka sampai berbuih. Namun sia-sia karena laki-laki itu tidak ada di sudut ruangan mana pun. Gadis itu hampir menyerah, ia mengusap wajahnya frustasi, langkah kecilnya membawa gadis itu kembali berjalan menyusuri paving blok.

Arin berhenti saat tetes-tetes cairan merah kental membasuh wajahnya, bau amis mulai menjalari penciuman Arin, perasaan gadis itu mendadak tidak enak, ia tahu benda apa yang menghujaninya saat ini. Dengan keraguan Arin mendongak menatap lantai atas gedung sekolahnya.

"Kafka!"

***

Hihi

See u

Author cantik buangetttt

Gisella Berlin 🐝

NOT FOR SALE!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang