18. Bertamu

6 1 0
                                    

Kemarin aku baru saja bertamu ke rumah seseorang. Dia kukenal tiga minggu lalu lewat pertemuan tak sengaja di kafe. Dan kemudian dia mengundangku ke rumahnya.

Aku tiba di sana pukul 09:00 pagi.

Dia menyambutku begitu hangat. Wajahnya semringah dan sunggingannya nampak jelas.

Dia lalu mengajaku ke ruang tamu dan mulai menyeduh dua cangkir minuman seperti yang aku lakukan padamu dulu. Bedanya, yang diseduhnya adalah cokelat panas. Katanya cokelat panas ini hanya untuk tamu spesial. Bahkan, dia juga menyediakan sepering biskuit rasa keju kesukaanku.

Kami bicara panjang lebar. Membahas beragam obrolan dan berjenis topik. Tertawa bersama hingga cokelat panasnya pun abis. Begitu pula sepiring biskuit tadi.

Memasuki pukul 10:00. Suasana mulai canggung. Obrolan sudah selesai. Topik sudah habis. Tawanya pun mereda. Bahkan sisa-sia cokelat panas di cangkir sudah mengering.

Tenggerokanku gatal hendak bicara. Tapi si tuan rumah sepertinya enggan melanjutkan pertemuan hari ini. Ia sibuk memainkan gawainya seraya menyeringai.

"Aku pulang dulu," celetukku akhirnya.

Dia tidak merespons. Matanya tetap mengarah ke layar.

"Hey, aku mau pulang," kataku lagi, kali ini nadanya sedikit tinggi.

Dia kaget. "Oh, ya, silakan. Itu pintu keluarnya."

Mataku membelalak. "Hanya itu?"

"Ya, apalagi yang kamu harapkan?" Dia tertawa setelah berkata seperti itu. "Kamu boleh pergi. Terima kasih sudah bertamu."

Aku mencibikan bibir seraya menyeret kakiku menuju pintu. Sesampainya di luar aku mengumpat keras.

"Ah sial! Aku dijamu dengan istimewa, dan kukira aku bisa tinggal lebih lama di sana. Sial! Kenapa aku berharap lebih padanya hanya karena cokelat panas yang katanya istimewa dan dia tahu biskuit kesukaanku. Mungkin saja 'kan, semua tamu dia perlakukan seperti itu? Kenapa aku geer begini."

Perasaan Seperti RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang