Gagal empat kali. Susah lagi cari temen online gini. Syukur masih bisa masuk universitas negeri kek yang selalu diomongin tetangga dan kerabat sana-sini. Capek. Raga rebahan, tapi pikiran jalan-jalan. Gini banget kuliah daring, tapi daring pun lama-lama nyaman. Belum siap juga ketemu sama dunia asli perkuliahan. Aahh, hidup emang isinya keresahan yang kadang nggak perlu jadi pilihan.
Semalem ada kating baik nawarin jadi pasukanku. Awalnya aku nanya di grup, tapi yang ngerespon dengan baik cuma kakaknya. Bahkan sampai pc aku. Terharu banget ya Allah. Semoga kakaknya selalu diberi kesehatan dan kebahagiaan. Jawaban kakaknya memuaskan, tapi malah aku jadi makin bingung karena ternyata sistemnya baru. Entah keajaiban darimana, kakaknya tiba-tiba nanya apa email sama passwordku. Rada deg-degan juga sih, kata sandi kan biasanya rahasia, tapi gara-gara pasukan-pasukan gini password jadi kayak konsumsi publik.
Pagi-pagi jam 8, kakaknya udah ngingetin buat nyiapin segala hal. Jujur, aku nggak enak banget. Kek ini tuh kating 19 lho, bantuan dekting 21. Maba, bocil, plis. Aku takut banget ganggu kakaknya, kali aja kakaknya aslinya mau meet sama temen atau ada acara keluarga atau mau me time. Bentar lagi kan dah mau kuliah, kali mau menikmati hari-hari sebelum sibuk. Akhirnya aku mengetikkan ketidakenakanku, padahal semalem aku awalnya niat nyari pasukan, sekarang malah mau nolak. Semalem juga aku dah mastiin berkali-kali, beneran kakaknya nggak apa-apa dan emang nggak apa-apa. Sumpah deh, aku nggak enak banget sama kakaknya.
Beberapa menit setelah kakaknya mengirim reminder itu, aku bertanya—sekali lagi—apakah kakaknya nggak apa-apa aku ganggu dan ini mungkin pesan suara ketiga kalinya dari kakak 19 itu. Entahlah, kakaknya jarang mengetik, lebih sering mengirim voice note dan selalu ada suara hujan yang menjadi latar. Aku kadang fokusnya malah ke suara hujannya, kayak, ini kakaknya tinggal di Bogor kah apa gimana? Kayak suaranya sedeket dan sejelas itu.
Suara hujan yang samar. "Nggak papa dek." Dipanggil dek tuh rasanya agak gimana gitu. Aneh aja, soalnya dulu pas SMA nggak pernah deket sama kakel cowok dan dulu juga manggilnya pakai nama. Seingetku.
"Santai wae."
Di dunia podcast, suara harus bisa mewakili ekspresi dan aku yang dengerin vn ini bisa ngerasain kakaknya kayak lagi tersenyum geli ngelihat aku yang dari semalem nggak enakan. Aku pun cuma bisa ngang-ngong depan hape.
Zayyan mengernyitkan dahi saat membaca password email universitas milik Maba 21 ini. Berkali-kali memastikan dalam hati, ini password apa caption Instagram? Meski terheran-heran, dia hanya bisa mengiyakan. Masih ada dua jam lagi menuju KRS War angkatan 21.
Seseorang membuka pintu kamarnya. "Bang." Suara berat Reza sampai ke telinganya. Dia memutar kursi belajar, menatap adiknya kemudian mengayunkan dagu.
Reza mengangkat lengannya yang digips, kemudian tersenyum lebar yang dibuat-buat. Zayyan mengangguk. Saat Reza berbalik, dia terlonjak. "Rafina ngapain kamu di sini?"
"Sejak kakak ngobrol tanpa suara sama Kak Zayyan."
Reza melirik Zayyan yang sedang memakai hoodie di dalam kamar, kemudian nyengir ke Rafina. Dia menunggu kakaknya di luar, mendengarkan dengan bosan Rafina yang megoceh akan kehilangan gips yang telah digambarinya.
"Lho Raf?" Zayyan bertanya-tanya ketika menutup pintu kamarnya. "Tumben nggak main? Biasanya pulang aja kudu dicariin."
Rafina cemberut, mengangkat bahu kemudian berbalik ke ruang tivi. Zayyan melirik Reza, yang dilirik ikut mengangkat bahu. "Ayok."
"Ini nggak bakal lama kan? Aku harus bantu adek tingkat KRS War."
Reza yang hendak berjalan mendadak berhenti. "Adek tingkat? Bang plis, orang baik tuh mudah dimanfaatin. Sama adek tingkat sendiri loh, abang nggak ngerasa kek..."
"Nolong orang nggak perlu lihat status kan?" Zayyan mendorong adik laki-laki setinggi telinganya itu untuk segera berjalan.
Reza menggaruk kepalanya yang tak gatal, masih berjalan dengan didorong kakaknya. Dia berdiri tegak, membuat Zayyan terkejut karena mereka seketika terhenti. "Tapi abang terlalu baik!"
Zayyan menghela napas, "Pujian apa ejekan?"
"Never both. C'mon bro!" Reza menatapnya frustasi.
Terkadang Zayyan berpikir bahwa yang menjadi kakak adalah adiknya. Dia terkekeh dengan pikirannya sendiri, mungkin dia memang tak cukup baik menjadi kakak sehingga adiknya pun ikut mendewasa sebelum waktunya.
"Bawa berapa masker kak?" Tanyanya sambil memakai sneakersnya. Reza mengamati masker putih yang kakaknya pegang, tetapi dengan cepat Zayyan sembunyikan ke dalam kantong hoodienya.
Tiba-tiba mama datang dari arah halaman, tangannya kotor penuh tanah. Mungkin sehabis menanam tanaman baru yang entah diberi dari tetangga yang mana lagi itu. Bentuk healing Mama adalah berkebun dan itu menular pada Zayyan yang juga punya tanaman hias di depan jendela kamarnya.
"Kalian mau kemana?" Tanya Mama penuh selidik sambil mencuci tangan di keran air dekat garasi.
"Copot gips Ma." Jawab Zayyan sambil memakai sepatu.
Mama seketika mengernyit. "Hari ini toh Za?"
Reza mengangguk.
"Zayyan di rumah aja, biar Reza sama mama." Putus mama tiba-tiba.
"Bukannya mama nanti ngurus konveksi?" Tanya Zayyan, tak rela harus ditahan di rumah saja.
"Iya nanti, Zayyan di rumah aja, biar mama yang ke RS sama Reza."
Zayyan merengut, siap protes. "Lhooo Ma... Udah dobel masker nih." Dia mengeluarkan dua masker dari kantong hoodie abu-abunya.
Mama menggeleng. "Nggak, nggak cukup."
"Maa..."
"Zayyan, ini rumah sakit bukan tempat main. Nggak boleh ya nggak boleh." Tegas mama.
Zayyan menekuri sepatunya, tak mampu menolak lagi. Dia tahu alasannya, dia tahu resikonya. Mungkin lebih baik dia kembali ke depan laptop bututnya dan menulis password Maba 21 itu dengan benar, Tuhan baik banget ya, aku minta bahagia, dikasihnya kamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breath
General FictionSetiap orang yang hidup itu bernapas, tapi tidak semua orang yang bernapas itu hidup. #sliceoflife-campuslife