Menghadapi sesuatu yang baru itu nggak mudah. Sejak kecil aku penakut, masuk TK pertama kali dan berkali-kali berikutnya aku masih menangis. Kelas satu aku tidak menangis, tapi masih takut. Kelas tujuh aku tidak menangis, tapi masih takut. Kelas sepuluh aku menangis di hari ketujuh dan masih takut. Semester satu kuliah, menangis di bulan kedua dan aku masih penakut.
Dulu aku sempat berpikir jika aku masuk kedinasan, utamanya STAN dan kemudian menjadi salah satu pegawai yang pastinya sering dimutasi, bisa nggak ya aku nyaman dengan keadaan itu? Dan ternyata hukum pun tak jauh berbeda. Masih ada permutasian hakim dan jaksa.
Aku menghela napas sambil menatap langit, mencoba sejenak lepas dari gadget yang meminuskan mata. Intinya aku buruk sekali dalam peradaptasian, tapi aku nggak mau jadi salah satu yang tumbang karena seleksi alam.
Kak Zayyan menawarkan sesuatu yang sebenarnya sudah sering berlalu lalang di FHahaha dan grup angkatanku. Sekolah Pemimpin Bangsa namanya, tempat di mana aku bisa bertemu banyak orang dan mungkin juga kesempatan berbicara. Definisi seriusnya sih salah satu program sekolah kepemimpinan dari BEM universitas.
Sejujurnya aku terlalu pecundang untuk berani meninggalkan zona nyaman. Dengan klaim bahwa anak FH harus bisa bicara dan blablabla lainnya, but that's the reality I can't deny. Tampaknya memang sebuah kenyataan yang kebetulan saja berseberangan dengan kepribadian. Aku pernah nyaman menjadi pusat perhatian, pernah bersahabat dengan keramaian, pernah bersemangat untuk bertemu dengan hal baru. Hanya saja aku pernah, bukan aku sedang.
Sambil melihat jarkoman itu dalam benak aku bertanya-tanya, apakah Kak Zayyan salah satu panitianya atau siapapun yang berpartisipasi di sana? Kalau bukan, kenapa Kak Zayyan peduli dengan relasi dan kevokalanku? Yaahh memang aku sering bertanya tentang ini itu, seberapa diperlukannya, berbagai macam manfaatnya, tapi itu semua kan hanya sekadar pertanyaan maba yang ingin tahu keadaan sebenarnya. Itu bukan tanda kalau aku tertarik, yang tertarik ibuku bukan aku.
Aku pengen hidup tenang, tanpa harus melakukan apapun. Maksudku, do what I do. Bukan menjalankan perintah atau mimpi orang lain, emang benar bahwa saran orang tua itu adalah pesan dari yang berpengalaman. Tapi hidup kan pilihan, kalaupun memang jalannya keras ya udah itu resiko masing-masing yang milih jalan. Cuma aku nggak mau di jalan yang keras, aku mau hidup tenang.
Hidup tenang versiku itu, hidup dengan orang lain tapi tanpa orang lain. Menjadi figuran tapi tokoh utama. Aku suka ngamatin orang lain, ngamatin keberhasilan mereka, dengerin mereka ngomongin tentang mimpi sampai visi misi. Aku nggak cemburu, aku cuma mikir kok bisa ya mereka punya semua itu. Terus aku ketawa—ngetawain diri sendiri—ya soalnya mereka berjuang, sedangkan aku sendiri cuma ngeliatin mereka berjuang. Tapi jujur hidup begitu tuh tenang banget, to do list yang nggak padat dan penuh, meja belajar dan kamar yang tetep rapi, buku-buku bacaan yang terus menuhin lemari bukuku, catatan-catatan pendek tentang orang-orang buat materi podcast. Rutinitas yang tanpa resiko dan tantangan.
Orang-orang nyebutnya monoton, tapi aku nyebutnya ketenangan.
Alasan Zayyan tak pernah minta laptop baru atau uang jajan lebih dan selalu berusaha menghematnya adalah dia tahu rasanya terbebani—meski harusnya tak merasa begitu. Reza udah balik ke asrama, tapi masih ada Rafina yang sekarang ribut pengen potong rambut, padahal rambut panjangnya cantik.
Meski sejujurnya dia lelah memiliki peran dan tanggung jawab lebih, nggak ada lagi yang dilakuin selain ngejalanin itu semua. Rasanya harus nyari Rafina kalau belum pulang padahal udah maghrib, ngomelin Reza buat berhenti nge-game dan ngerjain tugas-tugasnya, adek-adek yang rusuh pengen jajan tapi nggak punya uang, susahnya minta ampun bikin mereka seenggaknya beresin kamar sendiri, ditambah persiapan jadi screener oprec Earth Hour dan genteng bocor.
Sepertinya Zayyan terlalu memikirkan tugasnya, padahal kunci biar nggak lelah meski kerjaan padat adalah lakuin aja, nggak usah dipikir-pikirin atau dibayang-bayangin. Entahlah, dulu dia cukup menikmati masa-masa menjadi maba yang bebas dalam melakukan apapun, memutuskan apapun, tapi semenjak naik tingkat dewasa itu bukan berarti bisa seenaknya.
Zayyan tak menulis target, dia hanya menulis keinginan-keinginannya. Kuliah di luar negeri meski harus batal karena pandemi—dia sudah persiapan IELTS lho—, lulus cepat dan cumlaude, magang di law firm kalau nggak cocok ntar jadi ilustrator, kalau bosen ntar coba-coba bikin webtoon, mendaki Gunung Jaya Wijaya, nonton live Liga Inggris, bikin dokumenter lingkungan bareng Watchdoc, sempet mikir bisa nggak ya jadi notaris di Kalimantan biar ada balancing antara kebun sawit, tambang batu bara sama hutan dan dia hanya bsia tertawa membayangkannya. Bukan hal besar sebenarnya yang akan dia lakukan, dia hanya akan melakukan apa yang disukainya. Visinya ringan, kalau belum bisa bermanfaat, seenggaknya jadi orang baik.
Walaupun banyak sekali peran yang dia miliki, Zayyan tetap ingin totalitas di segalanya termasuk keinginannya. Meski kegiatan-kegiatannya bukan hal-hal besar seperti yang dilakukan Safwan atau Haris, dia tak ingin mengecewakan orang-orang yang mengandalkan dirinya, apapun itu perannya.
Semester lima itu sibuk kalau ikut organisasi dan kepanitiaan, belum lagi materi-materi kuliah yang makin intens, belum lagi ada program MBKM, belum lagi mikir KKN. Zayyan menghela napas, seenggaknya kesibukan dia hanyalah rambutnya Rafina dan genteng rumah yang bocor. Ohh, satu lagi. Asya.
Sebenarnya dia nggak tahu persis mentor tuh harus kayak gimana. Intinya dia cuma bisa ngasih jawaban dari tiap pertanyaan Asya sebaik-baiknya, ngeladeni segala topik diskusinya. Kadang Zayyan berpikir, kalau yang jadi mentor orang sibuk, Asya bakal gimana ya. Selesai nggak ya kekalutannya? Ditanggepin nggak ya diskusinya? Fast respon apa slow respon?
Zayyan bukan orang berpengalaman, tapi dia punya teman-teman yang bisa jadi bahan jawaban. Zayyan bukan orang sibuk, tapi dia tetap ingin jadi sebaik-baik mentor buat seseorang yang udah ngandelin dia. Meski kadang dia juga berpikir, apa mentor itu sebegitu penting sampai Asya harus ngechat tiap hari? Bukannya dia terganggu, tapi... Oke, mungkin memang cuma Zayyan yang jadi sandaran. Entah. Mungkin dia sedang kepedean.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breath
General FictionSetiap orang yang hidup itu bernapas, tapi tidak semua orang yang bernapas itu hidup. #sliceoflife-campuslife